Se Kalimat "Coretan Tinta Merah" Akan Mengukir Seribu Makna Dalam Segala Fenomena Kehidupan.

Jumat, 04 Maret 2016

Menulis untuk Penyembuhan Bangsa

  Oleh Pdt. Dr. Mery Kolimon


Tanggal 13 Oktober 2015. Saya bangun masih tengah malam. Jam 2 dini hari di Frankfurt, Jerman. Jam 8 pagi di Kupang. Pasti karena jet lag, saya sulit melanjutkan tidur. Mungkin juga karena sangat antusias dengan kesempatan yang saya dapat untuk bicara hari ini dalam konferensi yang diselenggarakan di Universitas Goethe Frankfurt. Saya benar-benar bersyukur diundang oleh panitia Frankfurt Book Fair (FBF) sebagai salah satu pembicara dalam konferensi dua hari itu.
Dalam konferensi terkait FBF tahun ini, perhatian diberikan kepada 70 tahun produksi tekstual di Indonesia. Saya diminta bicara dengan topik, “Menulis Kekerasan dan Trauma Politik”. Undangan itu terkait studi-studi dan publikasi yang dilakukan oleh perkumpulan kami, Jaringan Perempuan Indonesia untuk Studi Perempuan, Agama, dan Budaya (JPIT). Perkumpulan kami telah menerbitkan Memori-Memori Terlarang: Perempuan dan Penyintas Tragedi 1965 di NTT, pada tahun 2012 lalu, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Forbidden Memories: Women’s Experiences of 11965 in Eastern Indonesia, oleh Monash University Publishing. Versi bahasa Inggris buku itu akan diluncurkan akhir bulan ini di Ubud Writers Festival di Bali. Saya juga menulis feature hasil wawancara dengan ayah terkait keterlibatannya dalam Tragedi 65 di TTS dalam buku Breaking the Silence, yang disunting Pak Putu Oka Sukanta. Kini  JPIT juga sedang membuat penelitian tentang “Perempuan, Konflik, dan Perdamaian” di tiga daerah konflik. Kami mencoba menerbitkan hasil penelitian itu pada tahun depan.

Menulis sebagai Tindakan Politik
Buku “Memori-Memori Terlarang: Perempuan dan Penyintas Tragedi 1965 di NTT” (2012) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai “Forbidden Memories: Women’s Experiences of 11965 in Eastern Indonesia”, oleh Monash University Publishing (2015). [ist]
Di konferensi itu, saya bicara beberapa hal. Pertama mengenai alasan menulis tentang kekerasan dan trauma politik gerakan anti komunis 1965. Periode itu adalah periode senyap dalam sejarah bangsa dan gereja di Indonesia. Kita masih bisa menemukan dokumen dari abad 18 dan 19 tentang sejarah gereja di Timor dan Sumba, namun hampir tak ada dokumen tertulis tentang periode itu. Masa itu menjadi sebuah lubang gelap. Kami membuat penelitian dan menulis dari perspektif para perempuan korban/penyintas tragedy itu untuk mengisi lubang hitam tersebut. Selain itu, bagi kami kekerasan politik 1965 bukan saja meninggalkan trauma bagi para korban dan penyintas tetapi bagi seluruh rakyat Indonesia. Kekerasan 1965 telah meninggalkan sebuah trauma kolektif bagi bangsa ini dan meninggalkan beban impunitas yang masih dipikul bangsa ini hingga sekarang. Alasan lain adalah bahwa kekerasan itu juga menandai identitas dan teologi gereja-gereja kita. Sebagai bagian dari bangsa, gereja menjadi bagian dari kekerasan dan trauma, dan mestinya juga menjadi bagian dari penyembuhan dan reparasi.

Menulis kekerasan dan trauma politik karena itu adalah seperti melawan hantu-hantu masa lalu yang menyakitkan dan membuka memori-memori terlarang. Menulis tentang itu adalah upaya untuk mengupayakan rekonsiliasi dan perdamaian dengan masa lalu yang pahit dan adalah sebuah keberanian untuk membayangkan sebuah masa depan yang baru, sebuah masa depan yang ditandai oleh restorasi dan penyembuhan.
Menulis tentang Tragedi 1965, dalam masyarakat yang sangat dikuasai oleh master narrative negara yang sangat dominan dengan narasi tunggalnya, kami maksudkan sebagai sebuah alternatif untuk melihat dan memahami sejarah bangsa ini. Dengan menciptakan ruang bagi suara korban/penyintas, kami mempromosikan kesempatan untuk mendiskusikan apa yang terjadi di masa lalu, berdebat tentang dampaknya bagi gereja dan masyarakat, dan mendorong orang untuk berpikir tentang apa yang mestinya kita lakukan untuk penyembuhan dan pemulihan. Dengan begitu penulisan itu adalah juga sebuah tindakan politik: perjuangan bagi keadilan untuk semua, terutama bagi korban dan penyintas.

Penghargaan bagi Penulis Indonesia
Pembicara lain dalam panel bersama saya adalah Ayu Utami, aktifis jurnalis dan sastrawan Indonesia yang terkenal karena novel-novelnya, seperti Saman, Larung, Bilangan Fu, dan Si Parasit Lajang. Sebagian novel-novelnya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan mendapat sambutan yang sangat hangat di banyak negara. Bagi Ayu kekerasan politik tidak hanya menyakiti fisik dan dunia material, tetapi juga dunia simbolik kita. Itu sebabnya dalam novel-novelnya, dia banyak memakai simbol untuk melukiskan kekerasan yang terjadi. Bagi dia, semua kita punya tugas untuk belajar dari sejarah dan karena itu penulisan sejarah adalah penting.
Versi Bahasa Inggris dari "Memori-memori Terlarang" akan diluncurkan akhir bulan Oktober di Ubud Writers Ferstival. (web UWF)
Ketika ditanya mengapa dia menulis hal-hal yang sensitif, Ayu menjawab ia menulis hal yang sensitif bukan hanya untuk sekedar menulis isu sensitifitas itu sendiri, tetapi terutama karena itu berhubungan dengan ketidakaadilan dan hak asasi manusia. Jadi yang disentuh adalah masalah, bukan orang. Menulis isu sensitif membawa kita  bersentuhan dengan ketidaknyamanan. Namun itulah tugas penulis untuk mengalihkan masyarakat dari denial (penyangkalan) kepada consciousness (kesadaran) terhadap substansi sebuah masalah.
Buku-buku lain yang dibahas dalam konferensi itu adalah, di antaranya, Amba karya Laksmi Pamuntjak, dan Pulang, karya Leila S. Chudori. Para sastrawan memakai banyak cara untuk berbicara mengenai kekerasan dan trauma. Yang jelas, sejarah dan fiksi itu berbeda. Para novelis banyak kali mendasarkan tulisan mereka pada fakta sejarah, namun menggunakannya secara kreatif. Dengan cara itu pula mereka melawan pola master narrative negara yang monolitik dalam menulis dan menilai sejarah.

Tema dan buku lain yang dibahas nampak dalam ulasan terhadap karya Oka Rusmini, yang menggugat tradisi Bali dari perspektif feminis. Tiga novelnya yang dibahas adalah Tarian Bumi, Kenanga, dan Tempurung. Dalam ketiga novel itu, Oka Rusmini mengritik tradisi Bali yang memarjinalkan perempuan, sekaligus mengembangkan tafsir mengenai pemberdayaan dan pembebasan perempuan dalam peminggiran tersebut.
Sebuah presentasi menarik dibawakan oleh Dyah Ariani Arimbi dari Universitas Airlangga. Dia mengupas sisi yang lain sama sekali dari realitas tekstual Indonesia hari ini. Dosen Unair ini mengulas apa yang dia sebut sebagai hyper realitas di kalangan anak muda Indonesia di kota-kota besar. Dia menunjuk karya penulis yang dapat digolongkan di sini, yaitu Ika Natassa. Karyanya sangat menunjukkan hibriditas dari budaya metro pop. Bahasa yang dipakai campuran bahasa Inggris dan Indonesia. Bahkan salah satu buku Ika berasal dari kumpulan twitter dia. Ini sebuah sisi lain dari realitas literatur Indonesia hari ini, yang justeru digandrungi oleh orang-orang muda.
Buku karya Laksmi Pamuntjak diiklan pada bus di Frankfurt Book Fair . [Credit: Hendra Suhendra via facebook]
Para pembicara lain dalam konferensi dua hari itu berasal dari berbagai negara. Saya mencatat guru besar dari Australia, Kanada, Jepang, Belanda, dan berbagai universitas di Jerman turut memberi ulasan, di berbagai sesi konferensi itu. Mereka mengapresiasi perkembangan literatur di Indonesia.

Konferensi ini mencatat hal yang membanggakan bagi saya. Seluruh pembiayaan untuk pembicara dari Indonesia dibiayai dari kas negara, dalam hal ini oleh Kementerian Pendidikan Republik Indonesia. Kementerian yang dikomandani oleh pak Anies Baswedan ini membiayai transportasi domestik dan internasional, biaya penginapan, uang saku, dan asuransi perjalanan kami. Saya merasa terharu bahwa pemerintah bangsa kami mengakui pekerjaan-pekerjaan kami untuk penyembuhan dan pendidikan bangsa melalui dukungannya untuk kehadiran dan partisipasi kami di konferensi tersebut. Saya berharap akan semakin banyak penulis Indonesia, termasuk NTT, bersuara di panggung internasional. 

Sumber: http://satutimor.com/menulis-untuk-penyembuhan-bangsa.php

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Media Text

Media Text

Profil Text

Seiring dengan berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Tegnologi (IPTEK), belahan dunia lain (terutama Negara-negara Maju) berlomba-lomba meraih Impian yang di dambakan pada setiap Negara. Belahan dunia lain masih terbelakng; hal ini melatarbelakangi dari berbagai faktor; salah satunya adalah terbatasnya layanan IPTEK terhadap masyarakat umum. Melihat segala fenomena dalam kehidupan bangsa dan negara, maka Blogspot "WAIKATO NEWS" hadir untuk mencoba mengemukakan Opini, gagasan, ide melalui tulisan dari berbagai aspek kehidupan.

 

Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Visitor

Flag Counter

Music Papua

Post Populer

 

Templates by Kidox Van Waikato | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger