Se Kalimat "Coretan Tinta Merah" Akan Mengukir Seribu Makna Dalam Segala Fenomena Kehidupan.

Tampilkan postingan dengan label gender. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gender. Tampilkan semua postingan

Senin, 22 Februari 2016

Feminisme, Gender dan Hubungan Internasional


Studi Hubungan Internasional lazimnya hanya berkaitan dengan hubungan antar negara beserta unsur pendukung adanya hubungan antar negara itu sendiri, yakni kedaulatan, otonomi, perang, interest, power, dan banyak lagi. Jika dikaji lebih lanjut, keseluruhan unsur-unsur tersebut merupakan lambang dari maskulinitas, dimana sejatinya seorang laki-laki identik dengan rasionalitas, kekerasan, dominasi, dan lain-lain. Tidak sedikitpun terdapat unsur feminitas di dalamnya. Pada abad ke-20 pun kajian dalam Hubungan Internasional tidak menyangkut pautkan feminitas dan maskulinitas, karena hanya berfokus pada sebab-sebab terjadinya perang dan adanya konflik, bagaimana tata cara berdiplomasi, hukum internasional, dan terutama perdagangan yang saat ini menjadi alat perluasan globalisasi.
Menurut Rebecca Grant, teori feminis berkembang berdampingan dengan teori HI pada abad ke-20 sejak berakhirnya Perang Dunia I dan khususnya keberhasilan gerakan untuk menuntut hak pilih bagi perempuan di Inggris dan Amerika Serikat (Grant, 1992. Namun pada umumnya feminisme dianggap sebagai isu baru dan provokatif dalam teori dan praktek nyata pada hubungan internasional. Teori feminis sebenarnya merupakan upaya untuk mengkritisi studi yang menganggap bahwa laki-laki adalah aktor utama dan dominan. Upaya-upaya tersebut kemudian diwujudkan dengan cara melakukan transformasi atas tekanan struktural yang telah ada melalui penjabaran mengenai perjuangan kaum perempuan terhadap tekanan yang selama ini mereka peroleh.
Ketika feminisme telah terlibat dalam Hubungan Internasional, maka perihal yang terkait dengan maskulinitas mulai berubah, dalam artian tidak hanya laki-laki saja yang berperan penting melainkan juga kaum perempuan. Feminisme yang saat ini mulai berkiprah dalam hubungan internasional merupakan bagian dari ‘Warisan Pencerahan Eropa’ dan sebagai imbas dari adanya upaya universalisasi emansipasi, kebenaran, dan rasionalitas, meskipun hal tersebut dianggap sebagai suatu bentuk perlawanan (Spivak, 1992).
Dalam kajian feminisme, banyak terdapat kontradiksi dan teori-teori yang tumpang tindih mengenai bagaimana posisi, kajian, serta praktek dari teori-teori feminisme. Sehingga muncul variasi feminisme, seperti feminisme konservatif, feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme sosial, dan banyak lagi dalam studi HI. Oleh karena itulah para feminis berpendapat bahwa studi HI masih berkaitan dengan problematika feminisme. Hal ini juga didukung dengan adanya praktek pemisahan gender dan realitas hierarki gender, dimana perempuan dan kaum feminis diabaikan dari ragam teori yang berkembang dalam Hubungan Internasional. Selama ini, kehidupan dan pengalaman perempuan tidak pernah diteliti lebih jauh secara empiris dalam konteks politik internasional, sehingga seolah-olah pengalaman dan kehidupan perempuan tidak lagi dibutuhkan dan ilmuan perempuan dalam studi HI tidak diakui eksistensinya. Jika dikaji lebih jauh, gender merupakan sebuah variabel dan suatu konstitusi teoritis yang mampu membuat politik internasional mengalami kerugian karena mengabaikan perspektif feminis.
Kajian mengenai feminisme tentu saja diiringi dengan kajian mengenai gender karena kedua hal tersebut masih saling berhubungan. Gender memiliki batasan-batasan tentang maskulinitas dan feminitas, dimana maskulinitas menjadi hegemon sedangkan feminitas tidak diakui keberadaan dan kontribusinya. Dengan demikian, lantas kaum feminis mencoba menghilangkan kekuatan gender dan konstruksi dari dominasi dengan menciptakan gerakan feminisme masing-masing. Mereka menekankan bahwa sebenarnya perspektif feminisme dalam HI justru dapat memberikan kontribusi yang besar, terutama ‘dalam batas’ politik internasional dan perspektif feminisme justru mempermudah dalam menjalankan hubungan antar negara. Dengan segala pengetahuannya, perempuan lebih mampu bersikap netral dan kritis, tidak terlibat atau dibutakan oleh hubungan institusi dan kekuasaan (Syvester, 1994).
Namun Sandra Whitworth dan Catherine Hoskyns mengamati adanya perubahan mengenai relasi gender, yakni persamaan perempuan dan laki-laki dalam lingkup pekerjaan. Dan Maria Mies menggambarkan secara jelas bahwa perempuan memiliki persamaan dengan negara jajahan dan sumber daya alam, dimana eksploitasi sistematis dilakukan atas ketiganya sebagai sumber yang dapat dihabiskan oleh laki-laki dan negara kapitalis Dunia Pertama (Mies, 1986). Masuknya gender dan feminisme dalam ranah hubungan internasional tidak dapat dikesampingkan begitu saja, sebab kedua hal tersebut mempengaruhi pandangan tentang negara. Kaum realis dan liberal menganggap bahwa laki-laki dan negara adalah eksklusif satu sama lain dan mandiri, namun pada kenyataannya politik kekuasaan telah tergenderkan hingga membentuk sebagian pemahaman bahwa politik dunia bergantung pada aktor politik rasional laki-laki dan dikeluarkannya perempuan (True, 2001). Sedangkan disisi lain, menurut para analis feminis, ‘negara yang baik’ dan masyarakat internasional harus mengakui hak asasi perempuan dalam berbagai konteks, termasuk dalam konteks hubungan diplomatik antar negara hingga konteks pasar bebas dalam perdagangan internasional.
Pada akhirnya, perempuan turut berperan penting dalam gerakan-gerakan kritik sosial, pengorganisasian perdamaian, keadilan bagi lingkungan, bahkan dalam perjuangn kebebasan bagi perempuan secara transnasional. Peranan penting yang dimiliki kaum perempuan tersebut dapat dibuktikan, beberapa diantaranya adalah dengan adanya gerakan hak pilih perempuan, puluhan konferensi PBB yang mengumpulkan berbagai instansi pemerintah serta non-governmental organization (NGO) untuk mendiskusikan dan merencanakan strategi dalam mendukung hak-hak perempuan, serta adanya jaringan regional untuk pembangunan berkelanjutan pasca-kolonial. Para aktifis perempuan pun memberi kontribusi besar sebagai kekuatan gerakan perdamaian di wilayah konflik di seluruh dunia (True, 2001).
Studi HI lantas membahas lebih lanjut mengenai signifikansi kaum feminis.  Dalam pembahasan tersebut, perempuan diartikan sebagai suatu kelompok identitas, sedangkan gender merupakan sebuah unit analisis. Feminis lalu menjelaskan ulang mengenai abstraksi kedaulatan laki-laki dan negara, serta membuka kesempatan untuk mengemukakan teori-teori tentang status perempuan dalam perpolitikan dunia. Dalam hal ini, perspektif feminis posmodernis dan perspektif feminis modern memiliki peranan yang besar. Perspektif feminis posmodernis menyatakan bahwa perbedaan gender masih berkaitan dengan pengetahuan politik, bagaimana dan di posisi seperti apa kaum perempuan dapat mengetahui sesuatu. Jika teori yang dicetuskan perspektif feminis posmodernis merunutkan gender sebagai suatu alat analisis yang berkaitan dengan kekuasaan patriarkal dan ekslusifitas diri, maka lain halnya dengan teori feminis modern yang menciptakan kategori gender untuk menjabarkan bagaimana konstruksi sosial mengenai tekanan terhadap perempuan.
Pada intinya, feminis secara konsisten mengamati adanya ketidaknyamanan dalam proses perubahan dan dekonstruksi tatanan dunia termasuk pada tatanan patriarkal, sehingga mereka melakukan berbagai upaya untuk menunjukkan eksistensinya dan menunjukkan bahwa kaum perempuan juga dapat berperan penting dalam ranah hubungan internasional yang pada awalnya substansi dalam hubungan internasional itu hanya berupa hal-hal yang terkait dengan maskulinitas.

Reference (s):
True, Jacqui, 2001. Feminism, in; Scott Burchill, et al, Theories of International Relations, Palgrave, pp. 231-276.
 R.Grant, ‘The Quagmire of Gender and International Security’, dalam V.S. Peterson (Ed.), Gendered States (Boulder: 1992), hal. 86.
 G. Spivak, ‘French Feminism Revisited: Ethnics and Politics’, dalam J. Scott dan J. Butler, eds., Feminist Theorize the Political (New York: 1992), hal. 57.
 Syvester, 1994, hal. 31;RO. Keohane, ‘International Relations Theory: Contribution of a Feminist Standpoint’, Millenium, 18, 2, 1989, hal. 245

 Mies, 1986, 1988
Postingan Lama Beranda

Media Text

Media Text

Profil Text

Seiring dengan berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Tegnologi (IPTEK), belahan dunia lain (terutama Negara-negara Maju) berlomba-lomba meraih Impian yang di dambakan pada setiap Negara. Belahan dunia lain masih terbelakng; hal ini melatarbelakangi dari berbagai faktor; salah satunya adalah terbatasnya layanan IPTEK terhadap masyarakat umum. Melihat segala fenomena dalam kehidupan bangsa dan negara, maka Blogspot "WAIKATO NEWS" hadir untuk mencoba mengemukakan Opini, gagasan, ide melalui tulisan dari berbagai aspek kehidupan.

 

Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Visitor

Flag Counter

Music Papua

Post Populer

 

Templates by Kidox Van Waikato | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger