Se Kalimat "Coretan Tinta Merah" Akan Mengukir Seribu Makna Dalam Segala Fenomena Kehidupan.

Tampilkan postingan dengan label ideologidannasionalisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ideologidannasionalisme. Tampilkan semua postingan

Senin, 22 Februari 2016

Pluralisme dan Nasionalisme: Gus Dur dan Frans Seda

LAHIR dan mati adalah peristiwa harian. Tapi kematian dua orang pada akhir 2009 mendapat perhatian khusus karena bertepatan dengan penutupan tahun, dan karena yang wafat adalah dua tokoh seperti Gus Dur dan Frans Seda. Gus Dur wafat pada 30 Desember pukul 18.45, dan Frans Seda menyusul sehari sesudahnya, pukul 05.00. Keduanya berpulang sebagai pribadi yang penting dan menarik, sebagai pemimpin yang meninggalkan jejak, baik pemimpin golongannya maupun pemimpin berkaliber nasional.
Gus Dur tumbuh sebagai tokoh civil society. Bergerak dari Pesantren Tebuireng sebagai pendidik, pemikir, dan penulis yang subur, ide-idenya tentang pesantren, kiai, serta peran Islam kemudian berkembang menjadi gagasan yang melampaui batas komunal ke arah demokrasi, hak-hak asasi, problem mayoritas-minoritas, pentingnya pluralisme, pemerintahan sipil dan kedudukan serta peran agama-agama dalam kehidupan dunia. Sebuah puncak penting kariernya dalam civil society adalah ketika dia berhasil menduduki pucuk pimpinan Nahdlatul Ulama untuk tiga periode selama 15 tahun, dan mencoba meng-embuskan berbagai ide pembaruan ke dalam organisasi ini. Kalau sekarang diributkan perhatian pemimpin na-sional terhadap kebudayaan dan kesenian, Gus Dur adalah pre-siden yang pernah menjadi Ketua Dewan Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta, 1982-1985.
Pergeserannya ke dunia politik dimulai dengan pembentukan Forum Demokrasi, pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa, pemberian akses dan kesempatan kepada kader-kader muda untuk tampil dalam politik, sebelum akhirnya menjadi Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan relatif singkat, yang kemudian ber-akhir tanpa “happy ending”. Dalam masa demikian singkat dia sanggup memberikan kesempatan kepada kalangan sipil untuk menjadi pemeran utama politik nasional, dengan mendorong secara bertahap mundurnya ABRI dari keter-libatan sosial-politiknya. Perubahan itu, yang sempat dikhawa-tirkan akan membawa pergolakan, telah berlangsung -relatif da-mai, meskipun bukan tanpa persoalan. Gaya hidup dan gaya kepemimpinannya pun sedikit-banyak membuat kekuasaan menjadi sesuatu yang profan dan prosais, ser-ta dirontokkan auranya yang seakan-akan sakral dan -eso-terik.
Sampai tingkat tertentu, dia menunjukkan bahwa politik tidak harus diperlihatkan sebagai sofistikasi yang tidak dipahami orang banyak, dan tidak perlu dilaksanakan dengan gaya penuh citra agung dan mulia. Ucapannya yang menjadi pameo politik, “Gitu aja kok repot”, memperlihatkan keyakinannya bahwa politik melibatkan semua warga negara dan seluruh lapisan masyarakat, dan karena itu harus bisa dipahami oleh sebanyak mungkin orang. Politics for everyone sebaik-baiknya dihayati dan diungkapkan melalui good common sense. Itu sebabnya, humor merupakan bagian yang utuh dari pergaulan sosial dan wacana politiknya, karena humor membuat politik dapat dipahami dengan cara yang jenaka seraya mengandung kecerdasan sekaligus populis.
Dalam sosiologi agama dikenal dua kecenderungan pe-nguasa dunia dan penguasa agama. Penguasa dunia dengan kekuasaan besar cenderung memperluas wilayah kekuasaannya ke bidang agama, dan terjebak dalam caesaropapisme. Sebaliknya, penguasa agama yang dipuja umatnya cenderung memperluas kekuasaannya ke bidang politik, dan jatuh ke dalam hierokrasi yang berpuncak pada teokrasi. Gus Dur adalah pemimpin agama dengan legitimasi tradisional yang kuat dari kakeknya sebagai pendiri NU. Dia kemudian memegang kekuasaan politik tertinggi di republik ini, dan memberikan contoh yang patut diingat, bahwa kekuasaan politik janganlah dicampurbaurkan dengan otoritas keagamaan, meskipun pada suatu saat kedua otoritas itu berada di satu tangan.
Sementara Gus Dur bergerak dari civil society ke politik kenegaraan, Frans Seda menempuh jalur sebaliknya. Perjumpaannya dengan Kasimo seusai studinya di Universitas Tilburg, Belanda, merupakan semacam Wahlverwandtschaft dalam pengertian Max Weber, yaitu bertemunya dua faktor yang saling menunjang, tanpa dapat dipastikan hubungan sebab-akibat relasi itu. Apakah intuisi politiknya menyebabkan Seda memilih Kasimo sebagai mentornya, atau Kasimolah yang memperkenalkan politik sebagai cakrawala dengan tantangan yang menggoda bagi seorang lulusan universitas yang siap bekerja? Seda bergabung dengan Partai Katolik Indonesia pada 1950-an yang dipimpin oleh Kasimo, kemudian menjadi ketuanya, masuk parlemen, kemudian ditunjuk Soekarno sebagai Menteri Perkebunan.
Sejak itu jabatan menteri demi jabatan menteri diembannya, juga setelah pemimpin nasional beralih dari Bung Karno ke Soeharto. Tentu saja hal ihwal negara dan bangsa bukan sesuatu yang baru buat dia, karena Seda telah terlibat dalam perjuangan bersenjata menentang Belanda selagi bersekolah di Muntilan, sebelum meneruskan pendidikan di HBS Surabaya. Lahir dan besar di pulau kecil, Flores, yang masuk buku sejarah karena Soekarno pernah dibuang ke sana, dan menjadi anggota kelompok Katolik yang merupakan minoritas, Seda selalu tampil mewakili kelompoknya dengan mengibarkan bendera Katolik dalam politik Indonesia tanpa bimbang dan tanpa kompleks rendah diri. Dia menghayati dan mewujudkan prinsip moral politik yang diajarkan Mgr. Soegijopranoto, Uskup Semarang, yang dikenal dekat dengan Bung Karno. Seorang Katolik Indonesia haruslah 100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia.
Dengan asas itu dia menerobos ketertutupan kelompok-nya, bergaul dan bersahabat dengan tokoh dan umat agama lain. Setelah Soekarno jatuh dan pemerintahan diambil alih oleh Soeharto, umat Katolik harus menentukan orientasi, khususnya terhadap kelompok Islam yang dihadapi sebagai mayoritas. Tanpa ragu Seda mengatakan kepada kelompoknya bahwa umat Islam adalah teman seperjuang-an umat Katolik, sama seperti sikapnya terhadap kelompok agama lain.
Sebagai politikus, dia memberikan perhatian kepada penguatan civil society. Dia melibatkan diri dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, dengan mendirikan Universitas Katolik Atma Jaya pada Juni 1960. Dalam kalangan pendidikan tinggi Katolik, inilah satu-satunya universitas Katolik di Indonesia, dan mungkin salah satu dari sedikit universitas Katolik di dunia, yang didirikan dengan prakarsa yang seluruhnya berasal dari kalangan nonklerus. Universitas ini mencantumkan dengan jelas atribut “Katolik” dalam namanya karena, dalam keyakin-an Seda, sebagai seorang Katolik, I have nothing to lose and I have everything to gain, sebagaimana pernah dikatakannya kepada seorang penulis asing.
Dia juga menjadi perintis dengan peran yang menentukan berdirinya harian Kompas, pada 28 Juni 1965. Beberapa kali dia bercerita dengan jenaka kepada penulis tentang usul untuk mendirikan sebuah surat kabar Katolik yang disampaikannya kepada Jenderal Achmad Yani. Sang jenderal mengatakan akan mempertimbangkannya dengan syarat Seda dapat mengumpulkan 5.000 tanda tangan yang mendukung gagasan itu. Dengan caranya yang praktis, Seda mengerahkan 5.000 tanda tangan yang dikumpulkan dari para guru dan pegawai negeri sipil di Flores, dan di-serahkan ke Jakarta.
Gus Dur dikenal sebagai tokoh pluralis yang gigih membela hak-hak minoritas. Pada pemakamannya, wakil-wakil minoritas itu hadir dan memberikan penghormatan terakhir secara khusyuk. Sebagai pemimpin organisasi massa terbesar, dia bergerak lintas komunal, dan membuat tiap orang, juga dari golongan-golongan kecil, merasa at home di negeri ini. Pluralisme adalah cara seseorang dari kelompok besar menempatkan diri secara wajar di antara saudara-saudara lain dari kelompok kecil. Seda adalah pemimpin minoritas yang yakin bahwa seorang dari kelompok kecil dapat menjadi bagian sah dari bangsa ini karena sumbangan yang diberikan dalam perjuangan nasional. Maka nasionalisme adalah surat jaminan bahwa sebuah minoritas berhak mendapat tempat yang layak di tengah bangsa Indonesia yang besar.
Di tengah industri pencitraan yang berkembang melalui media, juga untuk berbagai kepentingan politik, perilaku dan kepribadian Gus Dur dan Frans Seda memberikan kontras yang tajam. Mereka tampil apa adanya, tidak berusaha memperlihatkan diri lebih unggul daripada yang sebenarnya, tapi dengan sikap percaya diri yang membuat orang lain akhirnya menerima mereka seperti apa adanya. Pada Gus Dur hal itu kadang kala menimbulkan kesulitan protokoler ketika dia menjadi presiden. Pada Seda, seba-gaimana dilukiskan oleh rekannya, Emil Salim, dia tak menyembunyikan diri sebagai anak desa yang berasal dari Flores, dan bahkan memperlihatkan kebanggaan tertentu dengan atribut itu.
Citra dapat menciptakan suatu simulakrum, kata para ahli post-modernis. Identitas seseorang dapat dikonstruksikan melalui berbagai teknik yang menggarap penampil-an, gerak-gerik, dan outfit. Tapi kehadiran dua tokoh itu di tengah kita memberikan pengalaman sebaliknya: bukan citra yang membuat seseorang menjadi pemimpin, tapi pemimpin sejati menciptakan citranya sendiri dan, kalau dapat, juga citra bangsa yang dipimpinnya.


11 Januari 2010
*) Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Biografi singkat Ignas Kleden dari majalahbasis.com:
Dilahirkan di Waibalun, Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 19 Mei 1948. Sempat bersekolah di sekolah calon pastor berkat lulus dengan predikat terbaik disekolah dasar. Namun keluar dari sekolah tersebut lantaran tidak bisa berkhotbah dengan baik. Ia Lalu memilih menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi/STFT Ledalero, Maumere, Flores (1972), meraih gelar Master of Art bidang filsafat dari Hochschule fuer Philosophie, Muenchen, Jerman (1982), dan meraih gelar Doktor bidang Sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman (1995).
Ketika masih di tinggal Flores, ia sudah sering berhubungan dengan majalah Basis di Yogya, Budaya Jaya di Jakarta, dan menulis artikel semipolemik untuk majalah TEMPO. Ia juga pernah bekerja sebagai penerjemah buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores.

http://majalah.tempointeraktif.com/


Sabtu, 20 Februari 2016

Pendidikan Politik: Memahami Kesadaran


Ada beberapa konsef kesadaran yang ditulis kemudian menjadi teori tentang Kesadaran itu sendiri, Georg Lucas yang disebut sebagai pengikut Marxisme Hegelian membagi kesadaran menjadi dua bagian yaitu Kesadaran Kelas dan Kesadaran Palsu, kesadaram Kelas ini mengacu pada system keyakinan yang dianut oleh orang yang menduduki posisi kelas yang sama, sedangkan kesadaran Palsu adalah kelas-kelas dalam masyarakat kapitalis umumnya tidak menyadari kepentingan kelas mereka yang sebenarnya. Sedangkan Antonio Gramsci menyatakan bahwa kesadaran merupakan kondisi dimana kita memahami situsi dan kondisi watak masyarakat dimana kita hidup, dan kemudian Gramsci mempersempit bahwa kita disini adalah intelektual.
Kesadaran adalah basis dari segala kehidupan dan ladang dari seluruh kemungkinan. Hakikatnya memperluas dan melipatgandakan potensi sepenuhnya. Dengan demikian dorongan untuk berkembang melekat dalam hakekat kehidupan, teori kesadaran seperti ini adalah menurut Maharishi Mahesh Yogi, sedangkan kesasaran menurut penulis sendiri adalah kondisi berpikir logis tentang sesuatu yang terjadi dan kemudian direspon dengan tindakan melalui metode sistematis dan terukur, ketika kita ingin menuju perubahan, tentu saja perubahan itu tidak datang dengan tiba-tiba, tidak datang dengan bim salabim, ia butuh proses rasional, pematangan system dan momentum tindakan, artinya proses menuju perubahan ini butuh proses pembongkaran holistic dan berpikir sistematis inilah yang disebut dengan kesadaran dimana akan menempatkan diri manusia sesuai dengan apa yang diyakininya, kesadaran ini diungkapkan dengan refleksi, cikal bakal gagasan dan tindakan.
Ketika kesadaran itu terhambat dan terjebak pada artikulasi dan pemaknaan diri, klaim diri paling hebat terjebak pada nilai-nilai subjectivisme yang sempit maka kesadaran itu belum terkelola dengan baik, kesadaran itu masih dalam taraf dirinya (etre pour soi e). maka secara otomatis kita tidak mampu menyadarkan pihak lain diluar kita dan kesadaran ini disebut dengan pseudo kesadaran atau kesadaran palsu. Etre pour soi e mengacu pada kesadaran berjarak, kesadaran kita terhadap sesuatu menyatakan adanya perbedaan antara kita dengan sesuatu, kita tidak sama dengan sesuatu yang kita sadari, ada jarak antara kita dengan object yang kita lihat, kita selalu menyatakan bahwa kita berjuang untuk masyarakat adat sementara kita datang jauh dari mereka, kita tidak paham dengan bahasa mereka, tidak pernah kita makan apa yang mereka makan bahkan kita bertahun-tahun tidak bersama mereka. Maka prasyarat utamanya adalah distansi, penandaan pada jarak.
Kesadaran adalah pondasi tindakan yang mengunakan media kewaspadaan, maka kesadaran ini muncul ketika subjek berhadapan dengan realitas ruang dan dikontektualisasi dengan ideology yang tentu saja mempunyai 3 pondasi yaitu gagasan, sikap dan aksi, yang diperoleh dari interaksi subject dengan object melalui panca indera yang terverifikasi melalui akal rasional, mengaca pada struktur yang sitematis (pengetahuan).

Kesadaran Jiwa
Kebencian terhadap sesuatu tanpa alasan dan subjectivisme adalah penyakit dalam kesadaran jiwa, padahal kesadaran jiwa adalah pondasi paling dasar dari kesadaran itu sendiri, pada struktur kesadaran jiwa ini kita menyadari bahwa semua relitas hakikatnya adalah satu, tunggal, dengan demikian tidak ada realita yang tidak dapat diubah. Kesadaran jiwa melahirkan konsep kecerdasan/kematangan jiwa (emotion quotient) untuk menyeimbangi kecerdasan emosional (intellectual quotient) yang merupakan pondasi rasionalisme, kecerdasan ini bisa bisa memotivasi kondisi jiwa agar menjadi pribadi yang matang secara social berkenaan dengan eksistensinya sebagai entitas social, ia terwujud dalam bentuk kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energy yang menyulut kretivitas yang tentu saja mengarahkan manusia ke arah yang lebih baik.
Kesadaran jiwa ini menyiratkan kesediaan manusia untuk memikul amanah, beban, kepedulian yang tidak diikuti oleh komitmen terhadap sikap mendua. Sumber utama konplik jiwa ini adalah kebodohan dalam mendifinisikan makna tindakan fisiologis, hawa nafsu, keinginan buta, ambisi kemudian disederhanakan sikap yang munafik, betrayal atau penghianatan

Kesadaran Ideologi
Kesadaran ini menghubungkan konsep tentang realitas dan keberadaan realitas itu sendiri dan bagaimana menyingkapinya, orang yang menjalaninya disebut realis. Kesadaran ideologi ini ditandai oleh upayanya merangkai segala peristiwa yang melahirkan fragmentasi kelas-kelas social. Setelah mengambil kesimpulan atas berbagai system penindasan, terutama yang melekat dalam kelasnya, maka dia akan mulai menebarkan kesadaran kelasnya ke segenap komunitas yang lebih dekat dengannya.
Sedangkan ketidaksadaran ideology didasarkan pada pandangan bahwa syarat bertahan hidup kita adalah menguasai banyak keterampilan agar bisa bekerja, pandangan ini secara sederhana menyatakan bahwa semakin baik kita bekerja maka semakin meningkat kesejahteraan kita, dan kita tidak perlu tahu tentang apa yang sedang terjadi baik yang berdampak pada diri kita maupun orang lain, secara sederhana bisa disebut setiap orang punya urusan masing-masing, dan kita tidak perlu menebarkan dan meningkatkan kesadaran baik di diri kita apa lagi orang lain.
Kesadaran Ruang
Dibawah kesadaran ideology adalah kesadaran ruang, kesadaran ruang ini berisikan hasil akumukasi persepsi dan daya hayal (imagines), daya persepsi ini hanya berlandaskan pada objek material. Ketika kita berada di dalam kamar, kita kemudian dikuasai penuh oleh kamar tersebut dan kita mulai mempersepsi semua benda yang berada dalam jangkauan indera kita, sehingga dalam persepsi, ruang kamar hanyalah sebidang dinding persegi yang dipenuhi beberapa perabotan. Selain itu kita mampu berhayal tentang bagai mana kita jadikan ruang tersebut, dalam khayal, kita bisa menjadikan ruang kamar tersebut diubah menjadi kolam renang, kita masukan gajah dan kita lakukan segala hal yang tidak lazim. Sedangkan ketidaksadaran ruang adalah dimana ketika kita dikondisikan oleh ruang tersebut.
Kesadaran ruang ini juga mengubah gen pasif ke aktif, gen pasif ini adalah mentalitas buruh, petani yang negative, miskin, bodoh, murah dan pasrah. Sedangkan gen aktif adalah mentalitas buruh, petani positif, kaya, cerdas, mahal dan aktif. Harus ada nilai lebih yang dibangun dalam diri kita sebelum kita melakukan perubahan di luar, gen pasif adalah kondisi penerimaan mental atas stagnasi perubahan, sedangkan gen aktif adalah kondisi keyakinan bahwa tidak ada yang tidak berubah di alam ini kecuali perubahan itu sendiri.

Kesadaran social
Kesadaran social adalah meniscayakan kebutuhan untuk saling memperkuat jaringan komunitas, kesadaran ini membantu menyebarkan distribusi pendapatan sehingga setiap komunitas mempunyai daya tahan yang sama, dalam bahasa lain bahwa komunikasi nyata antara kelompok yang mampu kepada yang tidak mampu adalah derma. Penekanan kesadaran social ini adalah ketika proses sharing tanpa pamrih, klaim maupun ada kebutuhan lain dibalik derma tersebut. Penyadaran dan distribusi pendapat, wacana hanya didasari kebutuhan peningkatan kesadaran dan kapasitas kelompok yang lebih lemah, tertindas dan bukan malah menyadikan kelompok lemah sebagai object, apalagi klaim dampingan yang kemudian membuat proses ketergantungan yang massif.

Puncak Kesadaran
Karakter tidak bisa berkembang dengan mudah dan cepat, hanya melalui pengalaman ujian dan penderitaan jiwa bisa diperkuat, visi diperjelas, ambisi di ilhami dan keberhasilan diraih. Helen Keller (1880-1968). Dengan semua wilayah kesadaran yang harus dikuasai agar bisa melakukan perubahan yang optimal, sehingga ada dua bidang besar yang harus menjadi perhatian kita yaitu internal dan eksternal. Untuk wilayah internal, kesadaran melahirkan sebuah keyakinan. Satu-satunya untuk mengubah secara permanen dunia luar kita adalah dengan mengubah dunia dalam kita. Kita tidak melihat dunia seperti seharusnya, kita hanya melihat dunia seperti yang kita mau lihat, kita hanya akan melihat berdasarkan keyakinan bukan kanyataan.
Hanya tindakan yang dilakukan sesuai dengan keyakinan yang mendominasi pikiran dan hati akan membuahkan hasil, keyakinan yang utuh hasil dari proses reflektif yang panjang dan teruji dilapangan akan melahirkan sebuah karakter yang nantinya menjadi cermin bagi pergerakan perubahan.

Kita sedikit menyadari tentang siapa diri kita yang sesungguhnya, dan kesadaran ini menjadi awal yang lebih besar.
Postingan Lama Beranda

Media Text

Media Text

Profil Text

Seiring dengan berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Tegnologi (IPTEK), belahan dunia lain (terutama Negara-negara Maju) berlomba-lomba meraih Impian yang di dambakan pada setiap Negara. Belahan dunia lain masih terbelakng; hal ini melatarbelakangi dari berbagai faktor; salah satunya adalah terbatasnya layanan IPTEK terhadap masyarakat umum. Melihat segala fenomena dalam kehidupan bangsa dan negara, maka Blogspot "WAIKATO NEWS" hadir untuk mencoba mengemukakan Opini, gagasan, ide melalui tulisan dari berbagai aspek kehidupan.

 

Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Visitor

Flag Counter

Music Papua

Post Populer

 

Templates by Kidox Van Waikato | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger