Se Kalimat "Coretan Tinta Merah" Akan Mengukir Seribu Makna Dalam Segala Fenomena Kehidupan.

Tampilkan postingan dengan label sejarahduniadansosialbudaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarahduniadansosialbudaya. Tampilkan semua postingan

Kamis, 31 Maret 2016

Revolusi Kuba

Kuba adalah negara pulau yang terletak di Teluk Meksiko, Laut Karibia. Kuba merupakan negara yang terkenal dengan cerutunya. Kuba sebelumnya juga lama menjadi jajahan Spanyol. Pada masa Perang Dingin, Kuba yang letaknya sangat strategis juga tidak luput dari incaran perluasan pengaruh dan ideologi negara adidaya. Kuba merupakan negara republik komunis pertama yang berada di belahan bumi Barat. Letak Kuba yang dekat dengan Negara Amerika Serikat menjadi ancaman serius bagi Amerika Serikat.

Kuba sebelum Perang Dunia II
Kuba pertama kali ditemukan oleh Columbus, orang Spanyol pada tahun 1492. Seperti halnya tempat-tempat lain yang ditemukan orang Eropa dalam masa penjelajahan samudra, yaitu diakui sebagai miliknya, begitu pula dengan nasib Kuba. Columbus segera mengklaim bahwa Kuba adalah milik Spanyol. Sejak saat itu, Kuba menjadi koloni Spanyol. Pada sekitar tahun 1868–1878 di Kuba timbul gerakan menuntut kemerdekaan. Perang Kemerdekaan tahap kedua muncul pada tahun 1895 dengan dipimpin Jose Marti. Amerika Serikat mendukung gerakan itu setelah kapal perangnya Marine yang dikirim untuk melindungi warga negaranya di Kuba meledak misterius. Amerika Serikat menganggap itu merupakan sabotase yang dilakukan Spanyol. Oleh karena itu, Amerika Serikat membantu Kuba menyingkirkan Spanyol. Wilayah Kuba sampai tahun 1902 mendapat perlindungan dari Amerika Serikat. Pada tahun 1933 kelompok revolusioner yang dipimpin oleh Fulqencio Batista berhasil mengambil alih pemerintahan di Kuba. Batista memerintah Kuba secara diktator. Pada masa pemerintahan Batista, korupsi makin merajalela.

Kuba setelah Perang Dunia II
Kondisi rakyat Kuba yang sangat memprihatinkan pada masa pemerintahan Batista, menggugah semangat salah seorang anak bangsa untuk memperbaikinya. Fidel Castro seorang putra tuan tanah kaya raya tidak tahan melihat penderitaan rakyat Kuba. Pada tahun 1953 Castro mencoba melakukan kudeta, tetapi gagal. Akibatnya, Castro dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara.
Namun, baru menjalani hukuman selama dua tahun, Castro telah dibebaskan. Penjara tidak membuat Castro jera dalam memperjuangkan keinginannya. Setelah keluar dari penjara Castro kembali menghimpun kekuatan. Castro melatih pengikutnya di dekat kota Meksiko. Pada tahun 1956, Castro bersama para pengikut setianya kembali berusaha menggulingkan kekuasaan Presiden Batista. Selama hampir tiga tahun Castro berusaha merebut kekuasaan di Kuba. Pada tahun 1959 Batista meninggalkan Kuba dan digantikan Castro. Fidel Castro sebenarnya bukan seorang komunis. Hal itu seperti pernyataannya yang mengatakan, “Revolusi kita bukan berwarna merah, melainkan hijau zaitun.” Kata-kata Castro itu menunjuk pada warna seragam yang ia pakai bersama pengikutnya. Bahkan, Castro juga mengutuk komunis dengan konsepnya yang totaliter. Castro juga berusaha membersihkan tindakannya yang dianggap disponsori komunis dengan berpidato di Universitas Princeton, Amerika Serikat. Dalam pidato tersebut, Castro menyatakan bahwa, “... bertentangan dengan pola Revolusi Rusia dan model Marxis bahwa di Kuba tidak berdasarkan perjuangan kelas .... Revolusi Kuba juga tidak berniat meniadakan kepemilikan swasta.” Namun, pemerintah Amerika Serikat tetap memandang bahwa revolusi yang dikobarkan Castro disponsori pihak komunis. Hal ini akibat tindakan Castro yang banyak mengubah kehidupan Kuba yang mendekati slogan komunis, sama rasa sama rata. Castro banyak membangun sekolah dan rumah bagi orang yang tidak mampu. Pemerintah Kuba juga mulai mengontrol semua penerbitan surat kabar serta siaran radio dan televisi. Tindakan Castro makin lama mengkhawatirkan pemerintah Amerika Serikat. Hal itu disebabkan Castro makin berani menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di Kuba.
Akibatnya, Amerika Serikat mengambil tindakan tegas, yaitu menghentikan hubungan dengan Kuba pada tahun 1961. Menghadapi kenyataan itu Fidel Castro selanjutnya segera menjalin hubungan dengan negara-negara komunis, seperti Cina dan Uni Soviet. Dari negara-negara tersebut, Kuba berharap agar mereka bersedia memberi bantuan ekonomi guna melaksanakan dan melanjutkan pembangunan.
Pemerintah Amerika Serikat yang mendapati kenyataan bahwa Kuba telah masuk blok komunis makin khawatir atas keselamatan negaranya. Hal itu beralasan karena jarak Kuba dengan Amerika Serikat tidak lebih dari 10 mil. Atas kekhawatiran itu, pemerintah Amerika Serikat berniat menggulingkan pemerintahan Fidel Castro yang prokomunis. Untuk mencapai maksud itu, pemerintah Amerika Serikat akan menggunakan para pelarian Kuba yang tinggal di Amerika Serikat. Dari orang-orang pelarian Kuba itu, Amerika Serikat berharap dapat menguasai Teluk Babi yang dapat dipakai sebagai lompatan untuk menundukkan Havana, ibu kota Kuba. Dinas intelejen Amerika Serikat (CIA) bertugas melatih orang-orang pelarian Kuba agar berhasil dalam misinya. Sekitar 1.200 orang pelarian Kuba di Amerika Serikat berhasil dikumpulkan dan dilatih kemiliteran.
Presiden baru Amerika Serikat, John Fietzgeerald Kennedy juga menyetujui rencana penggulingan Fidel Castro melalui orang-orang Kuba sendiri. Kennedy bahkan memerintahkan untuk memberi perlindungan dan pengawalan dalam penyerbuan Teluk Babi melalui pelarian orang-orang Kuba dilaksanakan. Peristiwa itu kemudian disebut The Bay Pig’s Episode atau Insiden Teluk Babi. Namun, pada detik-detik terakhir penyerangan, Kennedy memerintahkan membatalkan bantuan perlindungan dan pengawalan. Akibatnya mudah diduga, pemerintah Kuba sangat mudah mematahkan penyerbuan orang-orang Kuba pelarian itu. Atas Insiden tersebut, hubungan Kuba dan Amerika Serikat makin renggang. Sementara itu, pemimpin Uni Soviet, Khruschev segera memanfaatkan situasi atas insiden Teluk Babi tersebut dan begitu intensif mendekati Kuba. Ia menawarkan paket bantuan ekonomi yang lebih besar lagi apabila Kuba bersedia mengizinkan Uni Soviet membangun pangkalan militer dan menempatkan rudal nuklirnya di wilayah tersebut. Ia berencana rudal-rudalnya akan dapat diarahkan ke Amerika Serikat tanpa ada hambatan. Keinginan Uni Soviet tentu saja mendapat tantangan dari Amerika Serikat. Presiden Kennedy menyatakan bahwa penempatan rudal Uni Soviet di Kuba merupakan ancaman langsung terhadap Amerika Serikat. Oleh karena itu, pemerintah Amerika Serikat akan mengambil segala cara dan tindakan untuk menggagalkannya. Salah satu tindakan Amerika Serikat dalam menggagalkan pembangunan pangkalan militer dan rudal Uni Soviet adalah menghadang setiap kapal Uni Soviet yang menuju ke Kuba. Tentu saja tindakan itu menimbulkan krisis yang hampir membawa dunia dalam perang nuklir. Karena merasa belum berimbang kekuatan militernya, akhirnya Uni Soviet membatalkan penempatan pangkalan militer dan rudalnya di Kuba. Apalagi, Amerika Serikat juga berjanji tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Kuba. Hubungan baik Kuba dengan Amerika Serikat mulai membaik lagi pada tahun 1973 setelah kedua negara membuat perjanjian mengenai pertukaran pembajak.
Pada tahun 1975 embargo ekonomi pada Kuba yang dilakukan Amerika Serikat mulai dihapus. Namun, hubungan Amerika–Kuba memanas lagi setelah pada akhir tahun 1975 Kuba mengirim pasukannya ke Angola. Dari kejadian di Kuba itu, dua negara adidaya, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet, akhirnya juga menyadari betapa bahayanya apabila perang terbuka yang merembet pada perang nuklir terjadi. Oleh karena itu, untuk meminimalisasi terjadinya perang nuklir dan akibatnya, kedua negara adidaya sepakat melakukan pembicaraan pengurangan senjata.

Kamis, 25 Februari 2016

Teori Tindakan Sosial Menurut Max Weber


Teori Tindakan Sosial Menurut Max Weber - Eksemplar paradigma definisi sosial ini salah satu aspeknya yang sangat khusus adalah dari karya Max Weber yakni, mengartikan sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial dan antar hubungan sosial. Inti tesisnya adalah ”tindakan yang penuh arti” dari individu. Tindakan sosial yang dimaksud Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain.
Juga dapat berupa tindakan ”membatin” atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu, atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa, atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu.
Contoh dari tindakan sosial ini adalah upaya dari LSM Mitra Alam dalam menanggulangi masalah HIV/AIDS di Surakarta dalam melakukan peranan nya terhadap penanggulangan masalah HIV/AIDS di kota Surakarta berdasarkan tindakan yang penuh arti. LSM Mitra Alam melakukan tindakan yang nyata yang diarahkan kepada IDU (Injection Drug User) dan Orang Dengan HIV/AIDS dalam rangka menanggulangi masalah HIV/AIDS.
Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial dan antar hubungan sosial itu Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi yaitu :

  • Tindakan manusia, yang menurut aktor mengandung makna yang subyektif. Ini meliputi tindakan nyata.
  • Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif.
  • Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
  • Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
  • Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu (Ritzer, 2002 : 38-39).
  1. Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek.
  1. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Jadi tindakan manusia bukan tanpa tujuan.
  1. Dalam bertindak manusia menggunankan cara, teknik, prosedur, metode serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.
  1. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya.
  1. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya.
  1. Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan (Ritzer, 2002: 46).
  1. Adanya individu sebagai aktor.
  1. Aktor dipandang sebagai pemburu tujuan tersebut.
  1. Aktor memiliki alternatif cara,alat serta tehnik untuk mempunyai tujuan.
  1. Aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi tindakan dalam mencapai tujuan.
  1. Aktor dibawah kendali dari nilai nilai,norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan (Ritzer, 2002:48-49).

Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Max Weber membedakan dalam empat tipe. Dimana semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami. Tipe tindakan tersebut adalah:
a. Zwerk rational
Yaitu tindakan sosial murni. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang baik untuk mencapai tujuanya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Tujuan dalam Zwerk Rational tidak absolute. Ia dapat juga menjadi cara dari tujuan lain berikutnya. Bila aktor berkelakuan dengan cara yang paling rasional maka mudah memahami tindakan itu.
b. Wrektrational action
Dalam tindakan tipe ini aktor tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan yang paling tepat ataukah lebih cepat untuk mencapai tujuan yang lain. Ini menunjuk kepada tujuan itu sendiri. Dalam tindakan ini memang antara tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar untuk dibedakan. Namun tindakan ini rasional, karena pilihan terhadap cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan yang diinginkan. Tindakan kedua ini masih rasional meski tidak serasional yang pertama. Karena itu dapat dipertanggungjawabkan untuk dipahami.
c. Affectual action
Tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami. Kurang atau tidak rasional.
d. Traditional action
Tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu dimasa lalu saja (Ritzer, 2002:40-41).
Paradigma definisi sosial memiliki 3 teori menjelaskan, yaitu Teori Aksi, Teori Simbolik dan Fenomenologi.
Ketiga teori tersebut mengambil dari karya Max Weber. Secara definitif Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal. Dalam definisi ini terkandung dua konsep dasar, pertama konsep tindakan sosial, kedua konsep tentang penafsiran dan pemahaman.
Penelitian ini menggunakan teori aksi dalam paradigma definisi sosial yang pada mulanya dikembangkan oleh Max Weber. Teori ini memandang bahwa manusia adalah akor yang kreatif dari realitas sosialnya. Sesuatu yang terjadi didalam pemikiran manusia antara setiap stimulus dan respon yang dipancarkan adalah merupakan hasil tindakan kreatif manusia (Ritzer, 2002:44).
Dalam teori aksi yang diterangkan oleh konsepsi Parson tentang kesukarelaan (Voluntarisme). Beberapa asumsi fundamental teori aksi dikemukakan oleh Hinkle adalah sebagai berikut,
Talcot Parson sebagai tokoh teori aksi menginginkan pemisahan antara teori aksi dan aliran behaviorisme, karena menurutnya mempunyai konotasi yang berbeda. Menurut Parson suatu teori yang menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan dan mengabaikan aspek subjektif tindakan manusia tidak termasuk kedalam teori aksi, sehubungan dengan itu Parson menyusun skema unit unit dasar tindakan sosial dengan karakteristik sebagai berikut:
Aktor mengejar tujuan dalam situasi dimana norma norma mengarahkan dalam memilih alternatif cara dan alat dalam mencapai tujuan. Norma-norma tersebut tidak dapat menentukan pilihannya terhadap cara atau alat, tetapi ditentukan oleh kemampuan aktor untuk memilih. Kemampuan ini oleh Parson disebut voluntarism, yaitu kemampuan individu melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuan. Aktor menurut konsep voluntarism adalah perilaku aktif dan kreatif serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih alternatif tindakan.


Selasa, 23 Februari 2016

Penyelesaian Masalah Papua Barat (Suatu Perspektif Internasional)

Oleh: Victor F. Yeimo
                                             
Konflik politik di Papua Barat tentang keabsaan wilayah terus dipertengtangkan. dipertanyakan, diperbincangkan atau dikaji serta diselesaian sesuai mekanisme hukum internasional agar diperoleh kebenarannya dan diterima oleh orang Papua Barat dan Indonesia.

A. Penyelesaian Kasus Secara Internasional (Sebuah Pendekatan dalam Kasus Papua Barat)
Masalah utama bangsa Papua Barat adalah status politik wilayah Papua Barat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang belum final, karena proses memasukan wilayah Papua Barat dalam NKRI itu dilakukan dengan penuh pelanggaran terhadap standar-standar, prinsip-prinsip hukum dan HAM internasional oleh Amerika Serikat, Belanda, Indonesia dan PBB sendiri demi kepentingan ekonomi politik mereka.
Karena proses itu merupakan hasil kongkalingkong (persekongkolan) pihak-pihak internasional, maka masalah konflik politik tentang status politik wilayah Papua Barat harus diselesaikan di tingkat internasional. Lantas,bagaimana menyelesaiannya? Ada 2 cara yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan sengketa internasional, yaitu secara damai atau bersahabat dan secara paksa atau kekerasan. Cara penyelesaian secara damai ada dua, yaitu secara politik dan hukum. Secara politik meliputi negosiasi, jasa-jasa baik (good office), mediasi, konsiliasi (conciliation), penyelidikan (inquiry), dan penyelesaian dibawah naungan PBB2. Sedangkan secara hukum dilakukan melalui lembaga peradilan internasional yang telah dibentuk (Mahkama Internasional). Untuk penyelesaian sengketa secara paksa atau kekerasan, bisa berupa perang atau tindakan bersenjata non perang, retorsi (retortion), tindakan-tindakan pembalasann (repraisal), blockade secara damai (pacific blockade) dan intervensi.
Setelah perang dunia ke-II PBB menyeruhkan agar segala persoalan harus diselesaikan secara damai3. Penyelesaian damai dilakukan melalui badan Arbitrase dan organ PBB yaitu Mahkama Internasional.
1. Secara Arbitrase berarti penyelesaian sengketa politik melalui pihak ketiga. Hal ini sesuai kesepakatan wilayah yang bertikai. Dalam sejarah kasus Papua Barat, cara arbitrase ini dilakukan secara sepihak oleh Belanda dan Indonesia yang menunjuk Amerika Serikat yang pada saat itu sedang memiliki nafsu kepentingan ekonomi (Freeport) untuk menjadi arbitrator (pihak ketiga). Perjanjian itu adalah New York Agreement. Perjanjian ini sepihak karena tidak melibatkan orang Papua Barat dan perjanjian itu tidak dilaksanakan sesuai kesepakatan. Untuk menyelesaian persoalan Papua Barat, pihak Indonesia dan Papua Barat harus sepakat untuk menyerahkan penyelesaian status politik Papua Barat kepada pihak ketiga yang ditentukan bersama.
2. Melalui Mahkama Internasional (International Court of Justice/ICJ)4. Karena ICJ adalah organ PBB, maka dalam penyelesaian kasusnya, harus melalui lembaga-lembaga Internasional PBB seperti Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB dan organisasi non pemerintahan atau lembaga hukum internasional lainnya yang kapasitasnya diakui oleh PBB. Secara umum juridiksi yang dimiliki ICJ dapat dibagi menjadi 2:
a. Juridiksi atas kasus yang berdasarkan atas telah terjadinya sengketa, yaitu juridiksi mahkama untuk mengadili suatu sengketa yang diserahkan kepadanya adalah sengketa yang berhubungan dengan diterapkannya aturan-aturan atau prinsip-prinsip hukum Internasional terhadap para pihak.
b. Juridiksi untuk memberikan advisory opinion, yaitu juridiksi ICJ dalam memberikan pendapat hukumnya atas persoalan hukum berdasarkan organ-organ yang memiliki kewenangan untuk itu. Dalam kasus Papua Barat, proses penyelesaian sengketa politik wilayah Papua Barat pada masa lalu hingga pada PEPERA 1969 itu tidak dilakukan sesuai prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum internasional5. Maka, Negara-negara anggotan PBB bisa mendesak Majelis Umum PBB di setiap pertemuannya agar meminta ICJ memberikan pendapat hukumnya atas status hukum Papua Barat.

B.Masalah Papua Barat Harus Diselesaian Melalui Proses Hukum di Mahkama Internasional
1. Alasan Pembenaran
Untuk menyelesaikan melalui proses hukum, kita harus mengetahui terlebih dahulu hal-hal apa saja yang membenarkan bahwa masalah Papua Barat harus diselesaikan di Mahkama Internasional (International Court of Justice/ICJ).
a.Papua Barat Pernah dan Masih Menjadi Sengketa Internasional
Papua Barat dalam proses sejarahnya pernah menjadi wilayah yang dipersengketakan dan dalam prosesnya banyak kejanggalan seperti:
1) Dalam pelaksanaanya Indonesia tidak mematuhi hak dan kewajiban untuk melaksanakan berbagai perjanjian salah satunya perjanjian New York Agreement itu;
2) Terjadi perbedaan penafsiran mengenai isi perjanjian internasional seperti Roma Agreement dan New York Agreement tahun 1962;
3) Wilayah Papua Barat telah menjadi perebutan sumber-sumber ekonomi. Contoh nyata adalah kongkalingkong Indonesian dan Amerika Serikat dalam perjanjian kontrak karya Freeport Mc MoRaNd tahun 1967;
4) Papua Barat telah menjadi wilayah perebutan pengaruh ekonomi, politik atau keamanan regional dan internasional;
5) Papua Barat yang telah berdaulat tahun 1961 telah diintervensi kedaulatannya dengan maksud menguasai dan menjajah oleh Indonesia dengan dikeluarkannya Trikora;
6) Poin 5 merupakan bukti penghinaan terhadap harga diri bangsa.
Hal inilah yang masih menjadi perselisihan orang Papua dan harus menjadi perselisihan internasional. Dan itu merupakan sebab-sebab mengapa suatu wilayah disebut sebagai wilayah yang dipersengketakan.
b. Kasus Papua Barat Termasuk dalam Kategori Hukum Internasional
Hal-hal yang menyebabkan kasus Papua Barat sesuai dengan pandangan Sistem Hukum dan Peradilan Internasional adalah:
1) Kasus Papua Barat dalam Asas hukum Internasional
Menurut resolusi majelis umum PBB No. 2625 tahun 1970, ada tujuh asas. Poin-poin yang mendukung penyelesaian konflik Papua Barat adalah
a) Setiap Negara harus menyelesaian masalah Internasional dengan cara damai. Masalah Papua Barat adalah masalah internasional dan setiap pihak yang sedang mempermasalahkan Papua Barat harus diselesaian secara damai;
b) Asas persamaan hak dan penentuan nasip sendiri, kemerdekaan dan perwujudan kedaulatan suatu Negara ditentukan oleh rakyat. Rakyat Papua Barat punya hak dalam penentuan nasip sendiri, kemerdekaan dan perwujudan kedaulatan suatu Negara sesuai dengan kemerdekaan 1 Desember 1961.
2) Kasus Papua Barat sebagai Subjek Hukum Internasional
Subjek hukum internasional adalah pihak-pihak yang membawa hak dan kewajiban hukum dalam pergaulan internasional. Menurut Starke, yang menjadi subjek hukum Internasional adalah Negara, Individu, Organisasi Internasional, tahta suci dan Pemberontak dan pihak yang bersengketa. Dalam keadaan tertentu pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dan mendapat pengakuan sebagai gerakan pembebasan dalam menuntut hak kemerdekaannya. Contoh PLO (Palestine Liberalism Organization).
c. Kasus Papua Barat Sesuai Dengan Sumber-Sumber Hukum Internasional
Sumber hukum internasional adalah sumber-sumber yang digunakan oleh mahkama internasional dalam memutuskan masalah-masalah hubungan internasional. Sumber hukum internasional dibedakan menjadi dua:
1) Sumber hukum dalam arti Material dalam aliran naturalis berpendapat sumber hukum Internasional didasarkan pada hukum alam yang berasal dari Tuhan, dan aliran positivism berpendapat hukum Internasional berdasarkan pada persetujuan-persetujuan bersama dari Negara-negara ditamba dengan asas pacta sunt servanda;
2) Sumber hukum dalam arti Formal adalah sumber hukum dari mana kita mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dipergunakan oleh Mahkama Internasional, didalam pasal 38 Piagam Mahkama Internasional yang menyebutkan sumber-sumber hukum Internasional terjadi dari: Perjanjian Internasional (traktak), Kebiasaan-kebiasaan Internasional yang terbukti dalam praktek umum dan diterima sebagai hukum, asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab, keputusan-kepuptusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari berbagai Negara sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum dan pendapat para ahli hukum yang terkemuka.

2. Mahkama Internasional (ICJ) Dalam Menyelesaian Masalah Papua Barat
Mahkama Internasional atau International Court of Justice (ICJ) adalah badan kehakiman PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Didirikan pada tahun 1946. Terdiri dari 15 hakim, dua merangkap ketua dan wakil ketua, masa jabatan 9 tahun. Mereka direkrut dari warga Negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB seperti China, Rusia, Amerika Serikat, Inggris dan Perancis.
Mahkama Internasional berfungsi untuk menyelesaian kasus-kasus internaasional sesuai dengan pertimbanga-pertimbangan hukum Internasional yang menjadi dasar pertimbangannya. Ada dua fungsi Mahkama dalam menyelesaian suatu kasus, yaitu memutuskan Perkara-perkara pertikaian (contentious case) dan memberikan opini-opini yang bersifat nasehat. Dalam menyelesaian kasus Papua Barat yaitu:
a) Bila Orang Papua Barat dengan segala kekuatannya menjadikan wilayah Papua Barat sebagai wilayah yang sedang bertikai maka Mahkama Internasional dapat memutuskan pertikaian itu sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang bertikai, dan terlebih atas desakan Negara-negara dan lembaga-lembaga internasional.
b) Negara-negara Anggota PBB mendesak Badan-badan PBB seperti Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB agar meminta Mahkama Internasional memberikan opini-opini yang bersifat nasehat (advisory opinion) tentang status hukum Papua Barat. Hal ini karena ada fakta-fakta baru dalam proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dan standar-standar hukum internasional.

3. Mekanisme Penyelesaian di Mahkama Internasional
Bila Persolan Papua Barat Harus diselesaikan untuk mengambil keputusan final dari Mahkama Internasional, maka bagaimana cara kerja lembaga ini?
Dua pihak yang berperkara, yaitu Indonesia dan Papua Barat masing-masing menunjuk lebih dahulu seorang hakim untuk mewakilinya sehingga ditambah 15 hakim tetap Mahkama Internasional keseluruhannya menjadi 17 hakim.
Dua belah pihak harus memaparkan apa yang menjadi inti permasalahan dalam kasus status hukum Papua Barat.
Dalam memaparkan inti kasus dari masing-masing pihak, pertama-tama persidangan mengadakan tiga putaran permohonan tertulis dari kedua pihak. Hal ini karena masing-masing akan mempresentasikan hasil kajian sejarah dan argumentasi hukum.
Setelah persidangan mencatat semua, persidangan masuk kedalam tahap selanjutnya yaitu mendengarkan argumentasi lisan dari pihak-pihak yang bertikai. Ini bisa mencapai waktu berhari-hari.
Setelah para penasehat hukum pulang, para hakim mengadakan musyawarah. Tahap musyawarah ini bisa mencapai waktu 3-4 bulan.
Dalam musyawarah, para hakim menyusun tanggapan pertama mereka serta mendiskusikannya. Lalu persidangan membuat Komisi Rancangan (Drafting Committee).
Komisi ini menyusun secara berurutan setiap naskah pendapat para hakim dan menjadi bahan diskusi ataupun amandemen (perubahan) dalam rapat pleno para hakim.
Dan akhirnya muncul sebuah pendapat yang mendapat dukungan mayoritas hakim di persidangan.
Sementara jika ada hakim yang tidak sepakat dengan pendapat itu, bisa membuat disseting opinion.
Kemudian pendapat akhir Mahkama Internasional dibacakan dalam persidangan terbuka, di depan para penasehat hukum pihak yang bertikai (pihak yang memperkarakan).

4. Pentingnya Pengacara Internasional bagi Papua Barat (ILWP sebagai Solusi)
Pengacara internasional atau Penasehat Hukum Internasional adalah para pakar hukum internasional yang melakukan pembelaan hukum terhadap kasus-kasus yang bertentangan dengan atau melanggar hukum Internasional. Pengacara Internasional biasanya diakui secara internasional karena kontribusinya dalam membawa kasus-kasus internasional ke lembaga Internasional sesuai dengan piagam-piagam PBB, standar-standar serta prinsip-prinsip hukum internasional.
Karena kasus Papua Barat adalah kasus yang berkaitan dengan proses hukum internasional, maka penyelesaiannya harus melalui jalur hukum internasional. Dengan demikian, pengacara internasional bagi bangsa Papua Barat adalah suatu keharusan. Tugas-tugas pengacara internasional adalah melakukan penyelidikan atas masalah Papua Barat dan mengkajinya sesuai hukum internasional. Pengacara internasional atas kajian itu terus mendesak pentingnya penyelesaian masalah Papua Barat melalui pengadilan internasional dengan cara memaksa semua pihak-pihak internasional dan lembaga internasional untuk menyelesaikan persoalan Papua Barat melalui jalur hukum sesuai mekanisme internasional. Tidak sampai disitu, pengacara internasional kemudian hari ditunjuk oleh pihak Papua Barat untuk membela kasus Papua Barat selama proses peradilan internasional berlangsung, yaitu mempresentasikan kajian hukum tentang status Papua Barat didepan Hakim Mahkama Internasional.
Sebaliknya, Indonesia melalui pengacara Internasionalnya juga akan mempresentasikan materi untuk membenarkan bahwa status hukum Papua Barat dalam NKRI itu sah menurut kajian hukum internasional. Indonesia kini memperkuat status hukum Papua Barat melalui resolusi Majelis Umum PBB no 2504 tahun 1971. Di Mahkama Internasional nanti, pihak Indonesia harus bisa menjelaskan apakah proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI sejak tahun 1960 hingga 1969 itu sudah sah sesuai standar-standar, prinsip-prinsip hukum internasiona dalam menyelesaikan masalah Papua Barat.
Saat ini telah dibentuk Internasional Lawyers for West Papua [ILWP] yang diketuai oleh Mrs. Melinda Jankie dan terus menghimpun anggota-anggota pengacara internasional lain di berbagai belahan dunia.

5. Materi Papua Barat di Mahkama Internasional
Bila proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI sejak tanggal 1 Desember 1961 hingga 1969 itu dianggap sah, maka pertanyaan-pertanyaan yang harus dijelaskan oleh Mahkama Internasional sesuai pokok-pokok yang dibicarakan dalam Sidang Mahkama Internasional dengan menghadirkan Belanda, Amerika Serika dan Indonesia adalah:
1) Menanyakan Belanda dan PBB apakah Kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 yang dilakukan secara defakto itu sesuai dengan mandat resolusi PBB 1514 dan atau 1541 sehingga Belanda sebagai Negara yang menduduki wilayah Papua Barat itu telah berkewajiban memerdekakan wilayah Papua Barat dan deklarasi kemerdekaan itu juga merupakan hasil kongres Papua Barat yang memilih wakil resmi rakyat Papua Barat, Dewan Nieuw Guinea Raad. Bukankah ini adalah proses dekolonisasi, atau bagian dari semangat pembentukan komisi dekolonisasi PBB?.
2) Bila kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 sah sesuai semangat itu, maka invasi militer Indonesia di Papua Barat atas mandat trikora 19 Desember 1961 adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan resolusi-resolusi, prinsip-prinsip hukum dan HAM PBB.
3) Jika itu sesuai dengan semangat dekolonisasi PBB yang disahkan dalam resolusi Majelis Umum PBB No 1514 dan atau 1541 tahun 1960, maka harus dipertanyakan mengapa PBB mengabaikan resolusi itu lalu secara sepihak PBB melalui UNTEA menyerahkan wilayah administrasi Papua Barat ke tangan Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 sebagai suatu tindakan yang bertentangan dengan semangat memerdekakan wilayah jajahan sesuai mandat dekolonisasi PBB.
4) Bila proses mengalihkan kekuasaan dari tangan Belanda ke PBB dan selanjutnya ke tangan Indonesia itu sudah sesuai dengan standar-standar, prinsip-prinsip HAM dan Hukum PBB, maka mengapa Perjanjanjian New York 15 Agustus 1962 yang membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
5) Bila keputusan New York Agreement itu disepakati secara sah, maka mengapa pada tahun 1967 Amerika Serikat dan Indonesia menandatangani kontrak karya PT. Freeport Mc Morand yang berada di Timika, Papua Barat sebelum status Papua Barat disahkan melalui referendum (PEPERA) tahun 1969 sesuai kesepakatan New York Agreement.
6) Bila keputusan New York Agreement itu sah dan di terima oleh semua pihak, termasuk rakyat Papua Barat, mengapa pelaksanaan PEPERA 1969 itu tidak dilakukan sesuai dengan Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement yang mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self determination to be carried out in accordance whit international practice…”. Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu. Selain itu, teror, intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969 untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer Indonesia.
Itulah serangkaian proses yang tidak dijalankan oleh pihak-pihak internasional sesuai dengan standar-standar-standar, prinsip-prinsip hukum dan HAM Internasional. Proses inilah yang harus digugat kembali. Lembaga-lembaga Internasional seperti Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB dan Negara-negara angggota PBB dapat meminta advisory opinion atau penjelasan berupa nasihat tentang prose itu dari Mahkama Internasional.

6. Kemungkinan Resolusi PBB
a) Pengakuan Kemerdekaan Papua Barat:
Pengakuan bagi kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 dianggap sah oleh Mahkama Internasional bila ternyata ditemukan fakta persidangan bahwa Kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 telah sesuai dengan resolusi 1514 dan atau 1541 sehingga Belanda telah sesuai dan berkewajiban memerdekakan Papua Barat, maka pengakuan secara de jure bisa saja diberikan.
b) Referendum
Majelis Umum dapat memberikan keputusan untuk diadakannya referendum di Papua Barat karena Pepera 1969 yang melahirkan Resolusi Majelis Umum PBB 2504 tahun 1971 itu tidak kuat hukum (weak law) karena Indonesia dan PBB (UNTEA) tidak dilakukan sesuai dengan Perjanjian New York Agreement atau kesemua proses itu melanggar standar-standar, prinsip-prinsip hukum dan HAM Internasional.

C. Fokus Perjuangan di Internasional dan Ke Internasional
Konflik politik di Papua Barat tentang keabsaan wilayah terus dipertengtangkan. dipertanyakan, diperbincangkan atau dikaji serta diselesaian sesuai mekanisme hukum internasional agar diperoleh kebenarannya dan diterima oleh orang Papua Barat dan Indonesia. Untuk itulah, maka tugas utama perjuangan di internasional saat ini adalah menggalang solidaritas internasional, mendesak Negara-negara anggota PBB agar membuat mosi (sikap) di Majelis Umum PBB, selanjutnya Majelis Umum PBB merekomendasikan Pengadilan Internasional (International Court of Justice) menjelaskan apakah proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI sejak tahun 1960 hingga 1969 itu sudah sah sesuai standar-standar, prinsip-prinsip hukum internasiona dalam menyelesaikan masalah Papua Barat atau bila tidak maka masalah Papua Barat harus diselesaian kembali melalui mekanisme internasional.
Untuk menggugat proses yang cacat itu, maka dibutuhkan tahapan strategis yang secara konsen diperjuangan di tingkat Internasional. Tahapan itu harus didorong melaui proses politik maupun hukum di tingkat internasional. Paling tidak ada jalur-jalur strategis yang sedang ditempuh seperti:

1.IPWP dan ILWP
a) IPWP (Internasional Parliamentarians for West Papua) atau Parkumpulan Parlemen-Parlemen untuk Papua Barat. IPWP diluncurkan di London 15 Oktober 2008, yang kemudian dideklarasikan pada 1 Desember 2008 di gedung Parlemen Kerajaan Inggris di London, yang diketuai oleh Andrew Smith, saat ini IPWP telah terbentuk di Vanuatu, PNG, Uni Eropa, Republik Ceko, schotland dan anggota Parlement negara-negara lain yang secara pribadi ikut menandatangani untuk menjadi anggota IPWP. Anggota IPWP kini mencapai 68 orang6.
b) Internasional Lawyers for West Papua (ILWP)7 atau Perkumpulan Pengacara-pengacara Internasional untuk Papua Barat. ILWP diluncurkan di Brussels pada tanggal 3 April 2009 dan diketuai oleh Mrs. Melinda Jankie. Melinda Jankie adalah seorang pengacara Internasional. Anggota ILWP terus terhimpun, dan sedang menyiapkan kajian hukum yang selanjutnya mendorong ke Majelis Umum PBB dan Internasional Court of Justice (Pengadilan Internasional) sebagai tempat penyelesaian seluruh proses sejarah yang cacat itu.
2. MSG dan PIF melalui kawasan Pasific
Selain dua lembaga internasional bagi bangsa Papua Barat itu, tahapan poloitik yang sudah dan terus dilakukan yaitu melalui loby politik di kawasan pasifik, seperti:
a). MSG (Melanesian Spearhead Groups) adalah sebuah group antar Negara-negara Melanesia. Pertemuan MSG biasanya dilakukan setahun sekali. Dalam pertemuan itu Negara-negara Melanesia membicarakan isu-isu penting serta kesepakatan kerja antar Negara-negara Melanesia ini. Sampai sekarang Papua Barat belum masuk kedalam anggota MSG karena terus diblokade oleh PNG melalui Michael Somare, sekalipun sudah dilakukan berbagai upaya agar masalah Papua Barat dibicarakan atau paling tidak ada delegasi Papua Barat untuk ikut MSG. Negara Vanuatu yang mendukung hak penentuan nasip sendiri bagi bangsa Papua Barat terus berupaya namun kandas terus menerus. Saat ini upaya terus dilakukan oleh para diplomat Papua Barat di Fiji, PNG, Vanuatu agar Papua Barat bisa menjadi anggota MSG.
b). PIF (Pasific Islands Forum) atau Forum Pulau-pulau (negara-negara) pasifik adalah sebuah forum Negara-negara di wilayah pasifik yang pertemuannya dilakukan setahun sekali. Forum ini mengagendakan dan membicarakan masalah-masalah atau isu-isu regional (kawasan ) pacific. Sejak Belanda masih berada di Papua Barat, delegasi bangsa Papua Barat selalu diikutkan dalam forum ini, namun kini Papua Barat sudah tidak sebagai anggota PIF sejak penjajah Indonesia dan kepentingan kapitalisme mengambil peran penting dalam memblokade isu-isu Papua Barat. Berbagai upaya terus didorong agar kemudian ada delegasi Papua Barat atau paling tidak isu Papua Barat diangkat didalam setiap pertemuan itu.

3. Dialog atau Perundingan oleh Mediator
Dialog atau perundingan bisa dilakukan tanpa intervensi dari luar. Dalam proses ini kedua bela pihak yang bertikai bisa mengambil kemauan bersama untuk dialog. Hasil dialog tidak mengikat dan final. Tapi juga pihak yang merasa menguntungkannya, bisa menyatakannya sebagai keputusan yang final. Dalam hasil dialog kedua pihak yang bertikai bisa menyepakati untuk menyelesaian masalah status hukum Papua Barat di Mahkama Internasional, atau bisa saja mengambil keputusan bersama untuk melakukan referendum secara damai.
Dalam pendekatan Papua Barat, Apakah dialog dengan Jakarta bisa menghasilkan kesepakatan Jakarta dan Papua Barat untuk membawa persoalan status politik Papua Barat untuk diselesaikan di Mahkama Internasional atau referendum? Pertanyaan ini yang harus dijawab.
a) Indonesia sangat mengerti gelagat politik Papua Merdeka bila terjadi dialog. Saat ini Jakarta tahu bahwa dialog yang mempersoalkan status politik pada ujungnya akan menguntungkan orang Papua Barat yang secara dominan ingin Merdeka, maka Indonesia akan hati-hati dalam menyikapi wacana dialog. Terlepas dari siapa yang harus jadi mediator.
b) Bila Indonesia harus menerima dialog, sangat dimungkinkan status politik Papua Barat tidak ikut didialogkan. Barangkali pihak Jakarta akan lebih menerima dialog bila itu membicarakan tentang perbaikan Otonomi Khusus (Review Otsus), isu HAM dan Penegakan Hukum dalam NKRI.
c) Tapi bila tuntutan Papua Merdeka dibicarakan, maka Indonesia akan punya alasan bahwa Otsus adalah jawaban dari tuntutan Papua merdeka, sehingga bisa saja Tuntutan Papua Merdeka direduksi ke perbaikan Otsus. Hal ini selalu menjadi alasan Jakarta, kalau rakyat demonstrasi tuntut Papua Merdeka atau TPN OPM buat aksi, maka mereka dengan mudah mengatakan “itu karena mereka tidak puas”, “ itu luapan kekecewaan pembanguan”, dan berbagai alasan lainya.
d) Dialog dengan isu penyelesaian status politik Papua Barat hanya bisa terjadi kalau ada desakan kuat dari rakyat Papua Barat dan pihak Internasional.
e) Dalam dialog sangat tidak mungkin dibicarakan dan disetujui mengenai penyelesaian masalah Papua Barat melalui solusi referendum. Hal itu kemungkinan bisa terjadi bila Papua Barat dalam kondisi emergency secara fisik seperti Timor Leste saat itu dan lebih utama kuatnya intervensi Internasional. Contoh kasus Sahara Barat, sekalipun disana terjadi krisis kemanusiaan yang krusial akibat pertikaian Sahara Barat yang ingin Merdeka dan Maroko yang masih ingin menjajah, namun pemerintah Maroko tidak ingin menggelar referendum karena khawatir sikap rakyat Sahara Barat yang akan memilih opsi merdeka.
f) Dalam kondisi itu, dialog atau perundingan justru akan dipakai oleh Jakarta untuk menghalau proses perjuangan di Internasional. Hal yang sama dilakukan Jakarta terhadap GAM di Aceh. Masalah GAM yang pada saat itu sedang memaksa internasional justru direduksi (dipersempit) ke persoalan Tsunami dan korban kemanusiaan yang terjadi, sehingga resolusi dialog di Helsinki tidak banyak menguntungkan bagi perjuangan politik GAM kedepan, yang terjadi adalah solusi Otsus diterima dan rekonsiliasi di Aceh dalam kerangka NKRI menjadi pil pahit yang tidak menguntungkan pihak GAM untuk penentuan nasip sendiri (Kemerdekaan secara politik).
Dari beberapa jalur yang ditempuh diatas, maka sebenarnya tidak ada yang salah. Yang salah adalah ketika orang Papua Barat dan pejuang Papua Barat tidak dapat membaca dan memetahkan solusi-solusi itu agar dapat memandang solusi itu secara rasional (masuk akal), tanpa saling menyalahkan antara satu kubu perjuangan dan kubu yang lainya.
Yang rasional adalah perjuangan Papua Merdeka membutuhkan kekuatan internal Papua Barat dan terutama Internasional yang saling mendukung. Untuk mendorong perjuangan di tingkat Internasional dengan strategis, maka strategi Internasional lewat MSG dan PIF harus diperjuangkan terus menerus, karena bila isu-isu Papua Barat menjadi topik penting dalam pertemuan-pertemuan regional, maka bukan tidak mungkin persoalan Papua Barat menjadi isue

D. Catatan-Catatan Penting
Hal-hal yang menjadi pertimbangan suatu Negara dalam mendukung kemerdekaan bangsa Papua Barat
1. Sangat kecil kemungkinan bagi sebuah Negara secara resmi mendukung kemerdekaan bangsa Papua Barat, terlepas dari dan untuk kepentingan apapun Negara tersebut di Papua Barat. Hal ini karena setiap Negara sesuai kode etik internasional saling menghargai dan menghormati integritas dan kedaulatan Negara lain. Intervensi Negara lain secara diplomatis dilakukan melalui jalur yang legal. Jalur legal adalah bahwa suatu Negara tidak mendukung secara langsung tetapi mendukung penyelesaian konflik suatu wilayah yang kesalahannya melibatkan pihak Internasional, lembaga internasional seperti PBB. Oleh karena itu, bila suatu Negara mau konsen terhadap persoalan Papua Barat maka dia harus menempu jalur yang legal, dimana Negara-negara itu sebagai anggota PBB berhak mempersoalkan konflik Papua Barat dengan mempertentangkan atau memaksa PBB mereview proses memasukan Papua Barat kedalam Indonesia yang tidak sesuai dengan standar-standar, prinsip-prinsip Hukum dan HAM PBB di Pertemuan tahunan PBB.
2. Intervensi suatu Negara di Negara yang sedang terjadi konflik dilakukan bila suatu wilayah yang sedang bertikai itu dalam kondisi konflik dan sangat darurat, yaitu kondisi yang memaksa pihak-pihak internasional intervensi demi penegakan prinsip-prinsip, standar-standar hukum dan ham internasional. Hal inipun terjadi atas restu PBB, karena Indonesia adalah anggota PBB.
3. Saat ini Komisi Dekolonisasi PBB masih melakukan tugas sesuai resolusi 1514 untuk memerdekakan wilayah-wilayah yang belum berpemerintahan atau masih dijajah. Ada sekitar 16 wilayah yang menjadi tugas komisi ini. Komisi ini diketuai oleh Marty Natalegawa yang kini menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia. Sepertinya tidak strategis bila kasus Papua Barat dibawa lewat komisi ini.
4. Orang Papua Barat sebagai warga pribumi Papua Barat berhak untuk menentukan nasip mereka sendiri. Hal ini didukung oleh deklarasi Komisi Indigenous People di PBB, dimana Indonesia merupakan salah satu Negara yang ikut menandatangani dan meratifikainya. Komisi ini turut memperkuat dukungan Negara-negara anggota PBB. Ini juga menjadi alasan penting bagi jaringan Papua Merdeka diluar negeri untuk terus mengkompanyekan dan mendesak pihak internasional dalam hal ini PBB mengakomodir suatu mekanisme bagi hak penentuan nasip sendiri bangsa pribumi Papua Barat.
5. Proses internasionalisasi persoalan status politik Papua Barat akan semakin menuju pada target seperti yang tergambar diatas bila status politik Papua Barat terus menjadi masalah yang dipertentangkan di Papua Barat melalui aksi-aksi dengan metode apapun. Artinya, Papua Barat harus dalam kondisi yang emergency (darurat) agar menjadi perhatian internasional, serta mendorongnya ke tahapan penyelesaian. Ini adalah tugas mendesak rakyat Papua Barat yang berada di Wilayah ini. Tapi bila sebaliknya, orang Papua Barat lebih banyak bicara Kesejahteraan, Otsus, Pembangunan dan topic-topik lain selain topik pertentangan status politik, maka dunia internasional justru akan memihak Jakarta agar melakukan dialog dan mendorong perbaikan di segala bidang di Papua Barat. Lalu Jakarta akan bilang, persoalan Papua Barat adalah persoalan dalam negeri dan harus diselesaikan didalam negeri, maka target politik perjuangan Papua di tingkat internasional akan meleset.
6. Indonesia dan Amerika Serikat yang masing-masing sedang menindas dan mengeksploitasi wilayah Papua Barat akan terus mengaburkan (menghilangkan) isu perjuangan bangsa Papua yang sedang dilakukan atas kebenaran sejarah ini dengan cara menstigmanisasi pejuang dan jalur perjuangan yang sedang ditempuh sebagai teroris, separatis, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dll. Hal ini dilakukan oleh mereka untuk terus menutupi kesalahan mereka sebagai akar persoalan Papua Barat dan agar kepentingan ekonomi politik kedua Negara terus berlangsung di Papua Barat
kawasan yang bisa didorong ke PBB melalui forum-forum dan Negara-negara anggota PBB yang ada di kawasan pasifik.
Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana para diplomat kita di pasifik dan di Eropa melalui IPWP terus menggalang solidarias internasional dengan cara mempengaruhi Negara-negara anggota PBB dan lebih penting lagi Negara pemegang hak veto melalui kompanye, loby ke tingkat Parlement (tingkat DPR) di Negara-negara. Parlemen adalah wakil resmi masyarakat internasional yang ada di setiap Negara, sehingga dukungan tingkat parlemen terhadap penyelesaian Papua Barat merupakan suara rakyat atau suara komunitas Internasional yang mau tidak dapat memaksa pemerintahan di Negara-negara mereka untuk mengambil kebijakan, terlepas dari kepentingan ekonomi politik Negara tersebut terhadap Papua Barat.

Semua jaringan Papua Merdeka yang ada di setiap Negara harus menggalang (loby) ke parlement dari Negara tersebut untuk tergabung ke IPWP agar membentuk kekuatan bersama mendorong penyelesaian Papua Barat. Kekuatan internasional dapat mendorong Jakarta untuk mengambil kemauan-kemauan politik dalam penyelesaian masalah Papua Barat secara damai. Contoh: Kongresman AS yang terus memaksa kebijakan luar negeri AS melalui draf (bill) oleh DPR AS Urusan wilayah Asia dan Pasifik Eny Faleomavaega dan Donal Pyne untuk membentuk komisi khusus dalam penyelesaian masalah Papua Barat. Inilah tugas-tugas yang harus dicontohi parlement-parlement internasional yang tergabung dalam IPWP agar mendorong negaranya membuat kebijakan-kebijakan luar negeri khususnya terhadap penyelesaian masalah Papua Barat melalui mekanisme internasional. Berikut ini tahapan dan tugas-tugas yang sedang didorong di tingkat Internasional secara umum dalam penyelesaian status politik Papua Barat.
kawasan yang bisa didorong ke PBB melalui forum-forum dan Negara-negara anggota PBB yang ada di kawasan pasifik.
Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana para diplomat kita di pasifik dan di Eropa melalui IPWP terus menggalang solidarias internasional dengan cara mempengaruhi Negara-negara anggota PBB dan lebih penting lagi Negara pemegang hak veto melalui kompanye, loby ke tingkat Parlement (tingkat DPR) di Negara-negara. Parlemen adalah wakil resmi masyarakat internasional yang ada di setiap Negara, sehingga dukungan tingkat parlemen terhadap penyelesaian Papua Barat merupakan suara rakyat atau suara komunitas Internasional yang mau tidak dapat memaksa pemerintahan di Negara-negara mereka untuk mengambil kebijakan, terlepas dari kepentingan ekonomi politik Negara tersebut terhadap Papua Barat.
Semua jaringan Papua Merdeka yang ada di setiap Negara harus menggalang (loby) ke parlement dari Negara tersebut untuk tergabung ke IPWP agar membentuk kekuatan bersama mendorong penyelesaian Papua Barat. Kekuatan internasional dapat mendorong Jakarta untuk mengambil kemauan-kemauan politik dalam penyelesaian masalah Papua Barat secara damai. Contoh: Kongresman AS yang terus memaksa kebijakan luar negeri AS melalui draf (bill) oleh DPR AS Urusan wilayah Asia dan Pasifik Eny Faleomavaega dan Donal Pyne untuk membentuk komisi khusus dalam penyelesaian masalah Papua Barat. Inilah tugas-tugas yang harus dicontohi parlement-parlement internasional yang tergabung dalam IPWP agar mendorong negaranya membuat kebijakan-kebijakan luar negeri khususnya terhadap penyelesaian masalah Papua Barat melalui mekanisme internasional. Berikut ini tahapan dan tugas-tugas yang sedang didorong di tingkat Internasional secara umum dalam penyelesaian status politik Papua Barat.


Senin, 18 Juni 2012

LIP Geografi Kerajaan Belanda.

TERBITAN

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN GEOGRAFI
KERAJAAN BELANDA
AMSTERDAM

Pengurus / Penanggung Jawab
Prof Dr L. Rutten (Ketua); Dr. J. Van Hinte, Dr. A.N.J. Den Hollander, W.A.Hovenkamp, J.C. Lamster, J.L.H. Luymes, Ir. J.H.G. Schepers (Sekretaris), Prof.Dr. K. Oestreich, Ir. F.L. Schlingemann


_____


Edisi Kedua
Volume LVII
1940


Leiden
E.J. BRILL

1940
LAPORAN HARIAN TENTANG PERJALANAN EKSPEDISI DI WILAYAH BAGIAN UTARA DANAU PANIAI, TANGGAL 3-4 OKTOBER, 1939

Oleh
Dr. P.J. EYMA 1)

Sesuai dengan penjelasan pimpinan ekspedisi pada bagian ikhtisar maka tugas utama Sdr. Hoeka, pembantu ahli topografi, selama bulan Oktober Nopember adalah untuk mencari titik-titik observasi paling strategis di daerah sekitar ujung baratlaut Danau Paniai, yaitu di antara Danau Tage- dan Tigi dan lebih jauh lagi ke bagian utara Danau Paniai. Untuk mendapatkan titik-titik paling tepat tersebut penerbangan pohon-pohon perlu dilakukan terlebih dahulu. Sebagai seorang ahli ilmu botani pada ekspedisi sekaligus pembuat laporan ini, saya tentu ingin memanfaatkan kesempatan untuk mengumpul sebanyak mungkin contoh-contoh jenis pohon-pohon. Mengingat bahwa penebangan memakan waktu lama dan saya menguasai sedikit bahasa dan adat-istiadat penduduk daerah tersebut karena pernah tinggal disini kurang lebih selama 6 bulan sebelum kedatangan ekspedisi, saya berfikir tidak ada ruginya kalau sekaligus saya melakukan upaya untuk menjalinkan hubungan erat dengan penduduk setempat di daerah sebelah utara Danau Paniai, upaya yang mana sebetulnya termasuk bagian tugas saya sesuai rencana kerja ekspedisi.
Setelah tahap pertama program kerja ekspedisi berakhir dengan gemilang– yaitu dengan mendapatkan pos-pos pemandangan di Barara dan Moetaro dekat ujung baratlaut danau Paniai dan Tarapadimi di bg. Selatan danau Tare –, maka pada tanggal 3 Oktober regu kami dengan menumpangi kapal motor berangkat dari Pos Enarotali ke Pos Araboe di pinggir sungai Ara atau Araboe. Setibanya di Araboe ternyata perbekalan bagi patroli Timur mulai habis. Sehubungan dengan ini keputusan diambil untuk mengirim para tenaga kuli asal Antinjo, yang tujuan sebenarnya adalah untuk membantu patroli Utara, ke Kemandora sehingga kami terpaksa mencari 13 kuli Antinjo lain sebagai pengganti yang harus diambil dari jalur komunikasi di kawasan danau di pantai selatan.
Perjalanan ditangguhkan selama beberapa hari, tetapi pada tanggal 6 Oktober menjelang jam 5 sore terdengar suara nyanyian dari arah sungai Ara; terlihat sebuah kapal kecil yang digerakkan tenaga dayung- mungkin untuk mengirit bensin- kelihatan dari jauh menghampiri kami. Kapal kecil tersebut ternyata berpenumpang kuli-kuli Atinjo, beserta 3 orang petugas polisi lapangan dengan kepala mereka yaitu Sdr. Hiariej.
Karena para tenaga kuli Atinjo telah lelah karena didatangkan langsung dari jalur komunikasi, maka diputuskan agar hari esoknya tanggal 7 Oktober dinyatakan sebagai hari istirahat. Hari itu kami mengisi waktu dengan membagikan tugas dan mencari daging babi yang dapat kami beli dari penduduk Ekaris. Yang terakhir ini baru kami dapat melakukan menjelang malam hari yang sangat menyenangkan bagi para kuli Atinjo karena mereka suka makan banyak dan pada waktu tepat. Orang Atinjo berciri peramah, senang bersukaria, berbeda sekali dengan ciri penduduk daerah pegunungan sekitar pedanauan Wisselmeren yang cerdas. Harapan saya hari itu dapat berjumpa dengan Aimo di daerah pedanauan. Aimo adalah kepala suku Oehoendoeni Oewaginama di Kemandora Barat; menurut rencana dia sedang ditunggu mantunya di tempat tersebut untuk membicarakan usaha mereka bersama-sama. Saya sebetulnya ingin mengajak Aimo untuk menemani saya pulang. Tetapi karena dia tidak muncul ( kami tak ada perjanjian)- saya mengambil keputusan untuk mengajak seorang anak laki-laki berumur 9 tahun dari suku Moni, bernama Wissel, untuk menemani saya pulang. Wissel adalah anak yang pintar memasak sehingga saya beruntung sekali. Dia juga seorang pemandu yang pintar. Tiada orang yang lebih tepat menjadi pemandu di daerah Ekari daripada dia.
Dengan demikian anggota kelompok kami menjadi 24 orang, terdiri dari saya sendiri, ahli topografi Hoeka, asistennya, 4 petugas polisi, 3 orang terpidana, 13 kuli Atinjo dan 1 anak muda asal Moni.

Tanggal 8 Oktober.
Saat matahari menyingsing tanda dibunyikan untuk berangkat . Mula-mula kami berjalan melewati kaki bukit, kemudian melalui kampong Wettamoti dan Koemopa. Dari kampong Koemopo jalur tiba-tiba menanjak menuju ke suatu jalan pintas panjang berliku-liku yang menerobos punggung bukit. Hari pertama ini saya masih merasa berada di daerah yang saya kenal. Sampai di Toeka jalur kami tetap sama seperti yang kam i tempuh pada bulan Pebruari yang lalu, tetapi mulai dari Toeka untuk seterusnya kami tidak menuju ke arah utara ( ke jurusan Kamandoram) melainkan ke arah dataran Oewoderedide mengikuti arah hulu. Karena dibekali beberapa foto udara maka kami kurang lebih dapat mewaspadai apa yang dihadapi. Secara pendek perjalanan kami pada awalnya melalui jalan pintas, kemudian di Kobetaraida (dimana kami dijamu seorang teman lama dengan mencicipi tebu), jalur turun ke bawah melintasi lembah Waperaba menuju ke hutan Opegitara. Pengawal kami yang berasal dari suku Ekari hanya bersedia mendampingi kami mulai dari jalan pintas melalui kampong-kampong bernama Bamoma dan Abatadi, sampai di kaki bukit : Dari sini kami harus mencari pemandu lain yang kami dapati di kampong Ipoowo. Untuk mencapai kampong ini kami terpaksa mengarungi genangan air dan melintasi dataran penuh rumput yang disela tumbuhan pandanus dan zingiberacee. Setelah memanggil satu kali beberapa orang langsung bermunculan: saya yakin mereka mengingat wajah saya, tetapi tak berani mengakuinya. Rupanya mereka merasa terganggu karena saat itu sedang sibuk membagikan daging, sesuatu kegiatan yang bagi mereka di pegunungan dianggap lebih penting daripada melayani orang luar. Karena saat itu kedua pemandu baru telah siap menemani kami, maka diputuskan untuk meneruskan perjalanan ke Toeka. Jalur kami kini lewat selatan melalui rawa yang disana sini disela tonjolan punggung tinggi yang merupakan daerah perpanjangan dari daerah pegunungan sebelah kiri. Di depan terlihat gunung Bebiari yang tinggi dengan lereng yang curam. Dari Toeka kami sampai di sungai utama di dataran ini, yaitu sungai Oewodere yang meskipun kelihatan tenang arusnya sanggup membanjiri hutan pandanus di dekatnya sampai ketinggian beberapa meter. Sungai Oewodere mengalir sepanjang sisi-sisi lereng curam gunung Bebiari. Satu-satu jalan yang dapat kami lewati adalah sebuah jembatan kayu yang menyandar terhadap dinding bebatuan lereng tersebut. Di luar hutan pandanus terdapat suatu dataran rumput yang terbentang sampai di kampong Bebiari. Dari kampong itu kami meneruskan perjalanan ke Wodapoerauto. Setibanya di sana saya melihat setengah penduduk desa sedang menongkrong di tengah pusatnya. Seorang laki-laki tua berparas Moni dengan mata berair, menyambut saya dan memperkenalkan saya kepada teman-temannya dengan cara khas mereka, yaitu saling menyentuh kepalan tangan. Orang laki-laki tua tersebut terkesan gembira dengan kehadiran kami, karena dia selalu berupaya berdiri depan muka saya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan berkata kepada putra-putranya saya adalah “toeani” sedangkan yang lain adalah “polisie”. Meskipun jam baru menunjuk setengah dua, tetapi anak buah saya telah merasa letih. Karena hati saya tersentuh oleh keramahan penduduk Ekaris , saya berkeputusan untuk bermalam di sana. Laki-laki tua mencari kayu bakar dan tebu bagi kami seregu dan setelah kemah kami selesai terpasang dia mohon agar saya keluar dari kemah sebentar: disertai putra-putranya dia berdiri di depan kemah sambil membawa hadiah-hadiah bagi seluruh regu berupa kladi atau tebuh. Sebagai tanda persahabatan kami membalas keramahannya dengan menawarkan mereka manik-manik yang kelihatan sangat berkenan di hati dan diterima mereka dengan rasa gembira. Hanyai kakaknya orang tua tersebut tidak mau menerima hadiah apapun, sedangkan hadiah yang saya terima darinya yang paling berharga. Kelakuan ini ciri khas orang Moni dan bukan orang Ekaris, sehingga dapat diambil konklusi pengaruh Moni sangat kuat di daerah orang Ekari ini. Kebanyakan penduduk disini juga mengerti bahasa Moni. Sementara itu, Sdr. Hoeka telah mulai mengukur posisi gunung-gunung yang berada keliling kami dari sudut kawasan bukit tanjung.

Tanggal 9 Oktober.
Perjalanan dilanjutkan pagi sekali. Kami melalui kampong di sebelah baratdaya yang becek dan berlumpur. Untuk mengatasi masalah ini para penduduk kampong telah membangun bendungan kecil dengan jalan sempit di atas melintasi lumpur. Ujung jalan sempit tersebut tergenang air setinggi beberapa desimeter dan keluar ke hutan rawa berpohon pandanus yang berbatasan dengan suatu lahan luas yang tak berpenduduk. Untung sekali kawasan yang dilalui kami selanjutnya dalam kondisi lebih baik
Kami kemudian beristirahat di kampong Kigoditali dimana kami dikerumuni sejumlah ekor binatang babi yang berlari kian kemari. Di kampong ini kami menjumpai 3 orang yang berasal dari Koemopa yang terletak berdekatan dengan perkemahan Araboe. Mereka saat itu sedang memikul sebuah jalar penuh sabut pohon jenis Gnetum yang mereka telah pungut di daerah Oewagimana di Kemandora Barat.
Melewati kampong Kigoditali kawasan sering disela punggung-punggung tanah sempit. Punggung pertama, dekat Namoedari, ibarat terpotong lorong-lorong berbentuk S setinggi badan manusia dan berdinding tinggi terdiri dari tanah liat merah. Lorong-lorong tersebut sangat sempit sehingga sulit dilewati 2 orang sekaligus. Bagaimana lorong-lorong tersusun bagi kami hingga kini masih merupakan tanda tanya. Bentuknya ibarat lorong yang menembus dinding sebuah benteng. Kemudian kami meneruskan perjalanan melalui Koparotali, dan setelah menyeberangi lembah melewati Komobepapoera akhirnya kami tiba pada suatu punggung bukit tanah rendah yang memisahkan lembah Oewoderedide yang mencakupi daerah aliran sungai Ara dan danau Paniai, dari lembah Bogidede yang meliputi daerah aliran sungai Kemaboe=Warenai. Di lokasi ini pemandu-pemandu kami berpisah setelah menyerahkan daftar nama semua kampong dan gunung dll. Mereka diganti seorang pemandu baru. Kami kemudian meneruskan perjalanan melewati bagian-bagian kering punggung bukit tanah rendah yang diapit hutan rawa. Setelah melewati sejumlah aluran berisi air berwarna merah-merahan serta sepotong lahan hutan lumpur akhirnya kami tiba di suatu dataran terbuka. Si pemandu menyuruh kami tunggu di lokasi ini sementara dia jalan ke sebuah kampong yang terletak tidak terlalu jauh. Tak lama lagi dia datang kembali didampingi sejumlah orang Ekaris yang beraut muka kurang ramah. Mereka segan menerima manik-manik. Senjatanya mereka telah letakkan agak jauh di pinggir jalur. Saya mengatakan saya ingin bermalam disini tetapi tampaknya mereka berkeberatan dan menawarkan tempat yang lebih nyaman tak jauh dari sini. Karena saya merasa curiga saya berkata tidak mau pindah sebelum saya melihat tempat yang mereka usul. Akhirnya mereka setuju dan saya diantar oleh salah satu dari mereka ke suatu tempat yang ternyata terletak jauh sekali di seberang dataran. Terkesan mereka sengaja memilih daerah ini agar supaya kami jauh dari mereka. Saya tolak tempat ini dan akhirnya kami kembali ke tempat semula dan mendirikan kemah. Saya beruntung mereka langsung terima keputusan saya tanpa lawan bicara. Tidak lama kemudian mereka mendatangi kami menawarkan ubi dan tebuh, tetapi tetap menolak diberikan hadiah-hadiah. Kami merasa beruntung sekali menolak tempat perkemahan yang mereka usul, karena ternyata di sebelah utara lembah yang pada suatu saat kelak saya berkesempatan pelajari lebih mendalam, meskipun ditinggali orang, terdapat tanah rawa yang paling jahat yang pernah saya jumpai.

Tanggal 10 Oktober.

Untuk mencarikan titik observasi langsung di bagian barat dan tidak melalui Oewagimama menurut perasaan saya akan jauh lebih efisien dan membuahkan hasil lebih baik. Tetapi begitu para calon pemandu-pemandu Ekaris dengar rencana tersebut mereka langsung segan menunjukkan kami jalan ke barat. Melihat kami ragu-ragu meninggalkan kampong mengikuti arah yang mereka tunjukkan –nama kampong ini hanya kelak saya tahu adalah Bogesiga,- tiba-tiba salah satu orang pemandu menawarkan jasanya, sementara yang satu lagi minta izin menjadi pemikul barang dengan bayaran satu kigi. Pemandu yang pertama berlagak bodoh waktu ditanyakan nama, sedangkan yang lain setelah dibujuk beberapa kali baru mau mengungkapkan sejumlah nama yang ternyata semuanya salah. Jalur perjalanan melintasi kawasan penuh alang-alang disamping vegetasi sekunder yang tumbuh secara bebas di tepi kali sebelah kanan. Setibanya di suatu kampong yang namanya saya belum berani menyebutkan karena saya tidak tahu betul atau tidak, muncul seorang penduduk yang menawarkan kepada kami seekor babi. Harga telah disepakati tetapi begitu dia melihat kigi di tangan kami, tiba-tiba dia berubah fikiran dan batalkan penjualan. Ciri penduduk-penduduk daerah ini bukan pemalu, tetapi mereka tidak mau menerima manik-manik sebagai alat pembayaran. Didampingi seorang pemandu baru, kami menaiki sepotong lahan perpanjangan dari hutan di dataran sisi utara yang menuju ke barat dan ke jurusan lembah Egoemide. Di sisi lereng ditemukan lagi lempengan batu tulis; ternyata kandungan batu tulis dalam tanah di dalam punggung lembah Kemaboe tinggi sekali.. Di depan kami tampak sebuah kampong terletak tinggi di atas tanjung. Keterangan pemandu bahwa kami bukan sembarangan orang rupanya tidak ditanggapi para laki-laki yang berada di atas, suatu pertanda yang kurang menguntungkan.. Tetapi bahwa mereka tidak langsung menghardik adalah tanda bagus: mungkin karena kelompok kami lebih besar. Fikiran ini ternyata betul karena meskipun mereka menawarkan kami tebuh, kami diminta dengan cara kurang menyenangkan untuk meneruskan perjalanan. Saya menanggapinya dengan mengatakan tujuan kami disini bukan mencari masalah dan sekedar beristirahat. Seperti hal yang biasa selalu ada orang yang dalam situasi demikian mau mencari masalah! Sebuah puncak gundul di atas punggung bukit seberang lembah yang terletak jauh di bawah titik lokasi kami berada sekarang, walaupun agak jauh ke selatan, bisa menjadi titik observasi. Seorang penduduk Ekari berparas muka ramah menawarkan jasa untuk mengantarkan kami melalui kampong-kampong yang mendatang. Sebagai appresiasi, saya menawarkannya kigi yang terbesar saya miliki. Kemudian dia mendampingi kami turun ke bawah melalui hutan sekunder dengan tanah penuh batu tulis ke dataran berisi ladang-ladang di tepi kanan sungai Egoeme. Hujan turun dengan deras dan kami berteduh di bawah pintu gerbang rumah tinggal seorang penghuni yang ramah. Waktu hujan mulai reda kami turun ke sungai melewati jalur yang curam dan licin . Kemudian kami menyeberangi sungai dan terus berjalan mengikuti arusnya dari tepi sebelah kiri. Ada beberapa penghuni kampong yang kami dulu pernah menduga kurang ramah ternyata telah mengikuti kami terus dan menawarkan jasa untuk mengganti tenaga pemikul yang telah lelah. Suatu tanda kami jangan selalu terburu-buru berprasangka. Perkemahan kemudian kami pasang di kawasan tepi sungai sebelah kiri. Akhirnya mereka terima juga manik-manik dan saya dapat membeli ubi.

Tanggal 11 Oktober.
Sebagian besar hari ini kami luangkan dengan menelusuri kawasan bagian hilir dimana kami menemukan fosil-fosil terumbu yang sangat menarik. Kemudian kami menanjak tepi sungai yang terjal. Baik penduduk yang tinggal di lembah sungai maupun yang di atas daerah punggung yang terjal berkelakuan ramah. Kami beristirahat di kampong di atas punggung yang bernama kampong Moeneiepa sambil makan tebuh. Kami menjelaskan kepada pemandu Ekaris bahwa kami ingin menuju ke ladang yang terletak di atas lereng bukit seberang dataran lembah. Mereka langsung mengerti apa yang kami maksud dan siap mengantarkan kami ke sana. Jalur yang paling cepat dan tepat adalah melewati punggung bukit yang akan berangsur-angsur turun ke arah barat. Di sana kami akan menyeberangi sungai yang berbelok ke sungai Kemaboe. Di titik ini dua pemandu ingin berpisah dan yang ketiga yang belum lama bergabung dengan kami akan mendampingi kami untuk seterusnya. Dia menggunakan siasat berlagak bodoh tak tahu apa-apa. Pertanyaan apa saja dijawabnya dengan ‘ani ewo’ (tidak tahu ya) sambil bersenyum. Membujuk dia tak ada guna. Tetapi yang penting dia menunjukkan jalan yang tepat: kami melintasi sebuah punggung datar penuh pasir dengan pohon-pohon jenis Agathis, kemudian berjalan berlawanan arah dengan arus sungai yang kecil. Dia juga membantu kami mendirikan jembatan darurat di lokasi yang sulit. Kawasan dimana kami berada tak berpenghuni. Tetapi kami yakin berada di jalur yang benar dan bahwa cepat lambatnya kami sampai di ladang yang dimaksud, karena si pemandu hanya bisa berkata: ‘potto beeuw, gappa beeuw’, yang berarti: tidak jauh, tidak dekat. Para pemikul kelihatan mulai lelah. Rupanya kami sudah semakin mendekati tujuan karena hutan sekunder sudah mulai berubah menjadi kawasan ladang bersemak-semak Tiba-tiba kami sampai pada sebuah rumah tinggal kecil yang terletak di pinggir di bawah sebuah ladang ubi. Beberapa penghuni setempat kelihatan tak takut pada orang asing. Karena daerah di sebelah kiri ladang ubi tersebut sangat cocok untuk mendirikan perkemahan saya pergi sebentar menelusurinya. Belum kembali dari sini mulai terdengar dari jauh suara orang bertengkaran; ternyata terjadi suatu insiden kecil. Hoeka bersama seorang pemandu memasuki ladang ubi mencari titik observasi yang cocok, tanpa menyuruh si pemandu berjalan di depannya. Ayah si pemandu tersebut yang karena merasa curiga bersembunyi di dalam kebun ladang, dan saat melihat Hoeka langsung mengarahkan busur panahnya ke sosoknya. Si pemandu, anaknya, langsung berteriak memohon agar bapaknya jangan melakukan apa-apa. Laki-laki tua tersebut dua hari kemudian menjadi perantara kami untuk membeli seekor babi!
Perkemahan kami dirikan sebelah kiri ladang. Tidak jauh darinya dan sedikit di bawah terdapat jalur yang biasanya dilalui penduduk setempat untuk pergi ke Wanewo yang terletak di pinggir danau Paniai.

Tanggal 12 Oktober.
Pagi yang cerah menyusul malam yang dingin sekali. Hoeka dengan regu penebang di bawah penjagaan petugas polisi telah menuju ke daerah lebih tinggi untuk mencari jalan ke puncak gundul terbuka yang telah dipilih untuk kelak dijadikan pos observasi/pemandangan. Saya bersama dua petugas polisi dan beberapa tenaga kuli berkeputusan tetap tinggal di perkemahan agar kontak dengan penduduk setempat terus terpelihara. Saya berhasil membeli beberapa potong ubi dengan harga agak mahal. Laki-laki tua datang kembali membujuk kami membeli seekor babi dari dia. Sore hari Hoeka pulang ke tempat perkemahan. Dia merasa gembira karena berhasil menemukan suatu titik pemandangan yang menarik, meskipun sisi sebelah utara kawasan daerah yang bersangkuan masih perlu ditebang lagi. Ternyata titik ini sangat tepat sehingga pengukuran terhadap semua titik-titik yang pernah dipertimbangkan sebelumnya dapat mulai dilakukan.

Tanggal 13 Oktober.
Saya ikut naik bersama regu penebang ke daerah lebih tinggi. Hoeka serta 2 petugas polisi, seorang pembantunya dan 4 orang kuli Atinjo akan bermalam di atas untuk melakukan dua kali pengukuran yaitu sekali waktu fajar menyingsing dan sekali lagi saat matahari terbenam. Perjalanan menuju ke puncak gundul yang terbuka memakan waktu 5 perempat jam. Perjalanan menembus hutan, terdapat beberapa tanjakan ringan di sana-sini, dan satu dua kali kami juga menggunakan jalur yang biasanya dilalui penduduk Di atas puncak gundul vegetasi hanya semak-semak pendek, tak ada pohon. Tanah di daerah puncak ini adalah tanah humus (tanah gemuk) berwarna merah kehitaman berbantalan lumut beberapa lapisan dengan warna-warna bervariasi mulai dari kuning cerah, merah kecoklatan hingga merah cerah. Melalui lapisan lumut tersebut terlihat jalur-jalur binatang berkedalaman kurang lebih ½ meter yang menuju ke lubang-lubang di dalam lereng. Vegetasi disini bukan vegetasi alamiah. Puncak yang berjarak hanya beberapa meter dari puncak gundul ini dan terletak lebih rendah dan lebih ke arah utara seperti halnya dengan punggung tanah dari arah kami datang, semua tertutup vegetasi hutan. Puncak gundul terbuka terkesan sangat tinggi, meskipun ketinggiannya hanya kurang lebih 2.400 meter dan tertutup jenis vegetasi yang mudah terbakar. Karena alasan klimatologis dan edaphik maka lahan yang bebas tumbuhan jarang terdapat di daerah tropis! Meskipun udara cerah sekali, tetapi pembentukan awan hari ini lebih cepat daripada hari sebelumnya sehingga saya tidak pernah berhasil memperoleh pemandangan utuh dan lengkap. Orang-orang Atinjo segera mulai menebang lapisan bagian puncak tertutup hutan sedangkan regu yang bermalam disini mulai memasang perkemahan. Sementara itu langit mulai berawan. Waktu saya dengan regu penebang telah sampai di bawah, langit telah tertutup rapat. Sekembalinya di perkemahan saya mulai mengatur dan membereskan bahan-bahan materi dan barang-barang. Tiba-tiba sejumlah orang Ekari datang memberitahukan babi yang mereka bicarakan kemarin telah mereka antar kemari. Didampingi Wissel dan seorang petugas polisi saya pergi ke tempat simpanan kigi-kigi karena mereka ingin melihatnya sekali lagi meskipun baru mereka memeriksanya sehari sebelumnya. Sikap ini khas orang Ekari: mereka selalu ingin melihat dan memegang barang. Mereka selalu ingin ‘pekkado’, yang berarti ‘mau lihat dulu’.
Walaupun mereka tinggal jauh dari Pos mereka sangat rewel perihal mutu kigi: Umpamanya, kigi yang besar mereka tidak suka kalau simpul kigi tidak tampil dengan jelas. Aneh sekali bahwa di kawasan Mapia, di bagian baratdaya danau hanya kigi besar diberi nilai tinggi, sedangkan di daerah Jaba, dekat danau Tigi, orang telah puas dan tak peduli memiliki kigi palsu. Upaya penjualan babi oleh laki-laki tua akhirnya berhasil ditutup sesuai harga yang diminta sehingga binatang bersangkutan dibunuh dengan tembakan senapan. Hujan deras turun pada malam hari.

Tanggal 14 Oktober. Regu penebang naik ke daerah lebih tinggi.

Tanggal 15 Oktober. Udara cerah tetapi agak berawan dan saya sekali lagi ikut regu penebang ke atas. Tetapi sesampainya di puncak udara tiba-tiba berubah menjadi berawan khusus di arah baratlaut. Kegiatan penebangan tidak berjalan secepat yang diharapkan karena banyak pohon memiliki batang yang sangat besar. Kelompok penebang merasa kedinginan sehingga tidak sempat mewujudkan rencana menangkap binatang marsupal. Titik pemandangan yang kami ingini akhirnya ternyata jauh lebih dekat ke danau Paniai dari dugaan semula. Di bagian selatan terlihat dataran Wanewo dengan danau di belakangnya, sehingga Pos (Enarotatli di danau Paniai) dengan jelas terlihat melalui teropong. Ke arah barat seluruh wilayah di sebelah utara danau hingga pegunungan Weyland terlihat terbentang di depan mata kami, termasuk titik-titik yang telah kami kunjungi sebelumnya, sedangkan di sebelah timurlaut dan sebelah timur dari wilayah dataran Bogidide terbentang dengan punggung-punggung rendah dan panjang yang memisahkan dataran tersebut dari Kemandora. Waktu telah senja waktu kami sampai kembali di perkemahan. Tidak lama kemudian hujan lebat turun.

Tanggal 16 Oktober. Udara pagi hari di lembah cerah sekali dengan beberapa awan-awan kecil jauh di langit. Regu penebang cepat turun ke bawah karena pekerjaannya telah selesai, sedangkan regu puncak akan kembali besok. Di dalam sebuah jurang yang lembab dekat perkemahan saya menemukan sejumlah benda-benda yang sangat bernilai bagi penelitian saya. Hujan lebat turun lagi pada sore hari.

Tanggal 17 Oktober. Hujan turun pagi hari tetapi hanya sebentar. Sdr Hoeka puas sekali dengan hasil yang telah tercapai. Setelah dia kembali dari puncak gunung kami bermaksud menyusun rencana kerja selanjutnya bila perbekalan yang masih ada mengizinkannya. Tetapi Sdr Hoeka masih ingin memantau satu puncak lagi yang terletak sedikit lebih jauh ke arah timur pada garis perbatasan Bogidide dan Kemandora agar dapat melakukan pengukuran silang. Kami berfikir sebaiknya kami kali ini tak menggunakan jalur sama yang dipakai kami sebelumnya, melainkan melewati daerah kantong Oehoendoeni di Oewagimama agar kami dapat mengunjungi orang-orang Oehoendoeni yang pernah datang ke Pos Enarotali beberapa waktu yang lalu. Beberapa di antara orang tersebut pernah ikut pada perjalanan ekspedisi ke pantai selatan yang dibawah pimpinan Dr. De Bruyn. Kemungkinan besar bahwa niat kami tersebut telah sampai di telinga orang-orang di Oewagimama. Kalau memang begitu halnya, kami pasti diberikan suatu sambutan hangat. Dalam hal itu saya akan terdapat kesempatan mengumpulkan data lebih banyak tentang nama-nama dan lokasi -lokasi di wilayah ini. Disamping itu tak ada ruginya bila terdapat kampong dengan penghuni yang kami dapat andalkan dan siap membantu kami mencari bekal mengingat rencana kami mencari lokasi pemandangan/observasi kedua. Tetapi terlepas dari semua pertimbangan sebelumnya, kami yakin perlu sekali dilakukan penelusuran dari sudut topografis, karena lokasi Oewagimama diperkirakan sangat dekat dengan tempat masuknya sungai Kemaboe ke kawasan pegunungan.



Tanggal 18 Oktober.
Kami kembali ke sungai Egoeme melalui jalur yang sama yang ditempuh tanggal 11 kemarin. Tujuan utama kami sekarang mencari jalan terpendek ke Oewagimama, yang menurut data yang telah saya peroleh adalah via Ariepa. Beberapa orang Ekaris yang saya dekati untuk minta petunjuk jalan, berkata bahwa Ariepa bukan suatu jalan pintas. Tetapi setelah saya menjelaskan kepada salah satu di antara mereka bahwa saya mencari jalan ke Oewagimama dan bertanya apakah dia berminat ikut menemani saya, langsung dia setuju setelah melihat kigi besar di dalam tangan saya. Ternyata jalur yang harus kami lalui mulai di kampong tempat kami pernah menyeberangi sungai Egoeme, kemudian langsung menuju ke daerah pegunungan melewati daerah yang naik berangsur-angsur sampai di Ariepa, yang terletak di daerah yang datar. Sesudah Ariepa dataran berubah menjadi terjal sekali hingga lokasi puncak terbuka yang terletak pada pinggir sebuah lembah yang dilapisi tanah gemuk penuh bekas batang pohon jenis Gahnia yang terbakar, bekas tanda terjadi kebakaran besar di daerah ini. Kami dikerubuti nyamuk pada malam hari, tetapi hawa disini sejuk sekali.

Tanggal 19 Oktober.
Jalur perjalanan kami turun melalui hutan. Para pemandu yang semalam melanjutkan perjalanan menghampiri kami disertai beberapa orang Ekaris. Setelah bergabung dengan mereka kami melanjutkan perjalanan ke daerah lebih rendah, mula-mula menebus hutan melalui jalur yang tidakterlalu buruk, kemudian melewati ladang-ladang. Pada suatu lokasi yang penuh bekas tumpukan rumah terbakar kami menyeberangi sungai yang kecil. Diduga daerah ini tak lama berselang terserang penyakit wabah penyakit influenza. Menurut kebiasaan penduduk setempat sebuah rumah harus dibakar saat penghuni utama rumah yang bersangkutan telah meninggal dunia.
Tanjakan ke atas mulai terjal kembali. Belum sampai di puncak saya dihampiri dua anak laki-laki kecil yang berbicara bahasa Moni: mereka datang dari Oewagimama dan disuruh menemui kami. Si Wissel yang tidak mengerti bahasa Moni telah mengamati kami dari jauh dengan penuh keragu-raguan, sampai saat saya memperkenalkan dia dengan mereka. Setelah itu mereka lansgung menjadi teman dan mengambil alih keadaan: seorang Ekari lain yang menghampiri kami untuk menawarkan kami beli tebuhnya langsung ditegor karena menjual tebuh sewaktu seorang melakukan kunjungan persahabatan adalah melawan aturan. Aturan agar seorang pengunjung menunggu beberapa saat sebelum memasuki kampong juga tak diberlakukan pada kami. Sedikit lebih jauh lagi kami dihampiri sekelompok anak, satu di antaranya masih kecil sekali tetapi telah menenteng busur panah, dan seorang laki-laki lebih tua yang saya kenal karena dia pernah mengunjungi Pos. Dengan demikian didampingkan sekelompok anak-anak, kami meneruskan perjalanan melintasi punggung datar penuh hutan ke arah Oewagimama. Mereka berebutan memegang tangan saya atau membantu saya menyeberang jembatan atau melintasi batang pohon. Hoeka dan para petugas polisi sangat terkesan dengan sambutan yang kami diberikan, karena belum pernah mereka menyaksikan hal serupa. Lokasi Oewagimama lebih jauh yang saya bayangkan, tetapi tak lama kemudian kami keluar hutan dan menginjak lahan sekunder dan ladang-ladang. Sepintas lalu terlihat juga pemandangan ke pegunungan tinggi seberang lembah Kemaboe dan tak lama lagi kami berada di Oewagimama di tengah lereng lembah yang terletak beberapa ratus meter di atas sungai. Sampai di perkampungan yang pertama kami disambut beberapa orang Ekaris dan wanita-wanita Oehoendoeni. Laki-laki Oehoendoeni berdiri berkelompok di tengah-tengah desa tidak jauh dari tempat kami berdiri. Penyambutan meskipun hangat tetapi tak berlebih-lebihan. Tiba-tiba wanita-wanita yang semua adalah orang Moni Zongoenoe dari Koegapa, melihat si Wissel yang langsung dihampiri dan dipeluk. Saya membagikan hadiah berupa manik-manik kepada anak-anak dan para wanita , tanpa melupakan orang-orang Ekaris. Waktu saya mau memotret sekelompok wanita dan anak-anak, tiba-tiba ada beberapa wanita langsung pergi sambil lari. “Oh, itu orang-orang Ekaris,” tutur mereka. Orang Aimo yang telah berumur menyesal sekali si Pak “toeani” Kontrolir, tidak ikut datang kemari. Kami diminta menginap di lokasi ini selama beberapa hari. Persediaan beras kami yang sudah mulai menipis tak usah dipermasalahkan, menurut mereka, karena para wanita nanti akan mengambil ubi, tebuh dan sayur-sayuran dari ladang. Tetapi hanya seekor babi tak mampu mereka berikan ke kami, karena baru-baru saja ada dua penduduk desa meninggal dunia dan menurut adat mereka harus memotong babi. Kami cepat sekali berhasil mendapatkan tempat untuk berkemah, yaitu dekat sebuah sumber air di sebelah timur kawasan di atas wilayah kampong. Oewagimama sebenarnya terdiri dari tiga kampung: Bagian tengahnya ditinggali orang Oehoendoeni, sebelah timur orang Ekaris dan sebelah barat ditinggali orang Ekaris dan Oehoendoenis bersama-sama dengan jumlah penghuni rata-rata sama. Sambil menunggu perkemahan selesai dipasang, saya mengobrol lama dengan penduduk-penduduk kampong dari siapa saya mendapat berita terakhir mengenai keberadaan patroli yang dipimpin Komisaris Van Krieken yang sudah lama tidak ada beritanya.

Seorang Ekari yang baru tiba dari barat, yaitu dari daerah Biliboe (Siriwo) membawa berita bahwa beberapa ‘toean-toean” dan anggota polisi sedang ditunggu kedatangannya dalam 5 hari di Oewagimama dan akan meneruskan perjalanan ke bagian timur. Pembawa berita juga mengatakan dia disuruh mencari pemandu baru yaitu salah satu putra dari Aimo untuk menemani para ‘toean-toean’ ke bagian timur. Dia juga memberikan saya sederetan nama-nama yang tak banyak guna bagiku karena tak ada hubungan dengan daerah kunjungan. Sementara ini semua cerita-cerita yang disampaikan orang-orang Ekaris waktu di Egoemide yang saya duga hanya isapan jempol akhirnya ternyata benar-benar isapan jempol belaka; kebanyakan dari nama-nama tersebut bohong, ‘atau soempama’. Disini saya juga memperoleh informasi dari penghuni tentang suku-suku yang berada di bagian timur. Penghuni disini berasal dari Doegindora, dan pernah tinggal di sekitar Zotalu di Kemandora Tengah dan kemudian merantau ke Oewagimama banyak masalah yang dihadapinya. Di antara mereka terdapat juga seorang Dauwa, dengan mukanya berbentuk panjang dan sempit, yaitu ciri-ciri khasnya. Seperti juga halnya dengan orang Oehoendoeni yang dijumpai sebelumnya di Kemandora Tengah, mereka telah berasimilasi dengan penduduk Moni. Mereka semua mengawini wanita Moni dan juga berbicara bahasa Moni. Bahasa asli mereka adalah sama dengan yang bahasa yang telah tercatat di kawasan sebelah selatan Puncak Carstensz. Sangat jauh dari sini! Mengenai daerah asalnya belum banyak diketahui. Nama sukunya, yang menurut mereka adalah Hamoeme (me = orang) bagi saya tidak terlalu meyakinkan. Oehoendoeni adalah nama mereka dalam bahasa Moni, sedangkan Oerita adalah nama bahasa Ekari.
Menjelang sore hari para wanita pulang dari ladang membawa ubi, keladi, tebuh dan sayur mayur. Besok mereka akan membawa makanan lebih banyak lagi. Keadaan sekarang mirip seperti waktu kami berada di Kemandora Tengah: perkemahan kami menjadi tempat pertemuan umum bagi keseluruhan penduduk kampong, khusus orang-orang Oehoendoeni: Mereka membuat perapian kecil untuk berkumpul dan bercengkerama. Saya menekankan kepada semua anak buah bahwa orang-orang disini, berlawanan dengan perilaku penduduk Ekari yang telah kami alami sebelumnya, telah memberi kami kepercayaan mereka dan karena wanita dan anak-anak gadis mereka bebas masuk keluar daerah perkemahan kami jangan sampai kepercayaan mereka disalahgunakan.

Tanggal 20 Oktober. Sinar matahari menjelang fajar membuat pandangan puncak gunung Minimitara (tara=gunung) bagaikan api berwarna merah jambu. Para penghuni setempat mulai berdatangan lagi ke perkemahan dan tidak lama kemudian berangkat ke ladang untuk mengumpulkan disana hasil ladang tambahan berupa ubi dan pisang untuk dibawah kemari. Aimo minta saya menemani dia mengunjungi kakaknya yang sakit. Dia mempunyai obat berkhasiat tinggi tetapi dia kurang berani terapkan sendiri. Kakaknya Aimo memang kelihatan tak sehat dan lemah. Saya menduga dia menderita suatu peradangan.. Aimo kemudian memperlihatkan kepada saya obat yang diperolehnya dari Bapak Kontrolir. Obatnya dibungkus dalam botol keranjang. Isinya setelah diperiksa ternyata minyak kayuputih jenis cepat menguap. Karena Aimo percaya obat tersebut tidak mempunyai efek negatif, saya mengulasnya pada lengan dan lehernya orang tua tersebut dengan harapan dia lekas sembuh. Setelah ini di rumah tetangga sebelah, saya disuruh duduk dekat perapian dan kemudian diberikan kladi bakar. Sambil berjalan-jalan di kampong sebelah barat membuat saya mengetahui dengan pasti arah aliran sungai Kemaboe yang pada potret udara tidak jelas kelihatan disebabkan lapisan awan yang menutupi lembah waktu itu. Sekembali ke perkemahan dua orang laki-laki datang membawa dua jalur penuh dengan buah jeruk yang kami seorang diri tentu tak dapat menghabiskan.. Di kawasan ini saya juga untuk pertama kali melihat seorang laki-laki mengunyah daun sirih, yang saya menduga adalah pengaruh dari Timur. Aimo bertanya apakah kami suka makan sayur rebus. Dia dan putri-putrinya saat itu sedang sibuk menggali lubang dengan batu-batu yang kemudian dipanaskan untuk membuat masakan rebusan itu. Cara membuatnya lain dari cara yang pernah kami saksikan di Wandai. Di wilayah ini batu-batu dibungkus dengan dedaunan sedangkan lubang ditutup lagi dengan batu-batu. Malam itu saya tidak bisa tidur karena terlalu banyak makan sayuran rebus.
Sore hari menjelang jam empat hujan turun dan tiba-tiba Soalekigi dengan putranya Mauwekigi muncul di depan kami. Karena cape menunggu Aimo terlalu lama mereka berkeputusan menuju ke lokasi perkemahan. Tadi pagi menjelang fajar mereka berangkat berjalan kaki mulai dari Koemopa, dekat perkemahan Araboe, hingga Oewagimama yang benar-benar merupakan prestasi luar biasa karena jarak panjang tersebut mereka dapat tempuh dalam waktu kurang dari satu hari. Jika kami tidak jadi berangkat besok, tetapi lusa, mereka bersedia menunjukkan kami jalan pintas tersebut. Demikianlah diputuskan.

Tanggal 21 Oktober.
Sebagian besar hari ini diluangkan dengan upaya membujuk orang Ekaris menjualkan babinya kepada kami. Mereka ada bermacam-macam alasan untuk tidak menjualnya meskipun persediaannya lebih dari cukup. Kalau mereka tidak mau jual lebih baik terus terang saja daripada menyebutkan alasan yang tak masuk di akal. Biasanya orang Ekari tidak malu menolak sesuatu. Saya ambil keputusan untuk hentikan permainan tawar menawar mereka sehingga akhirnya mereka sepakat menjual. Hari sudah mulai malam waktu pembagian serta penyiapan daging telah selesai.

Tanggal 22 Oktober. Kami berpamitan dari Oewagimama. Saya membagi-bagikan segala peralatan saya yang tak saya perlukan lagi seperti pisau-pisau dan cermin-cermin kecil di antara penduduk Oehoendoeni. Suatu surat yang ditujukan kepada Tuan Van Krieken saya titipkan kepada putranya Pak Aimo. Setelah tiga kali mengucapkan ganio (= selamat tinggal) atas nama kami maupun orang-orang Atinjo, kami melanjutkan perjalanan naik ke gunung dengan bantuan seorang pemandu baru yaitu Mauwekigi. Kali ini kami tak melewati Piabeutara melainkan mengambil jalan ke arah timur menaiki Tarahoegiwi. Setelah menempuh jalur yang curam ke bawah, kami sampai di kawasan bagian hilir sungai Debaboe, dimana kami pada waktu perjalanan kemari pernah menyeberangi sungai, yang disusul sepotong lahan lebar berlapisan batu tulis dimana kami menjumpai sejumlah fosil Ammoniet di antara batu-batu. Pada jam 12 siang setelah berjalan kaki mengarungi air sungai, kami sampai di puncak Tarahoegiwi. Jenis vegetasi disinipun bekas kebakaran. Udara berbau asam semut tercium dimana-mana karena kami dikelilingi pepohonan Myrmecodia, tempat huninya binatang semut. Hujan telah turun, namun demikian kami melanjutkan perjalanan dalam hujan di atas jalur yang berangsur-angsur turun mengikuti arus sungai ke arah selatan. Cerita bahwa jalan ini yang termudah dan terenteng, dalam kenyataan sama sekali tidak demikian halnya! Tetapi bagi kami sekalian lebih baik berjalan daripada berhenti di bawah hujan karena dengan demikian hawa dingin akan lebih terasa. Mereka di deretan paling depan sewaktu-waktu harus berhenti untuk memungkinkan yang di belakang mengambil jarak agar jangan jauh ketinggalan. Hoeka karena putus asa akhirnya berhenti mencatat rutenya yang dia biasanya rajinmelakukan. Sungai tidak ada banyak jeramnya dan diapit lereng batuan tinggi dengan banyak air terjun-air terjun kecil penuh lumpur. Kami merasa lega sekali saat mencapai dataran; harapan kami jarak ke Bogisega dari sini tak terlampau jauh lagi. Seandainya malam nanti jarak tersebut tidak berhasil ditempuh, maka jalan ke perkemahan di Araboe akan bertambah jauh lagi. Lagipula, sifat tanah sudah mulai berawa. Beberapa rumah telah berdiri dalam tanah yang becek sekali, yang membuat daerah ini tak cocok untuk berkemah. Ini adalah lokasi yang kami ditunjuk oleh para penduduk di Bogesiga pada perjalanan kemari. Sekitar lokasi beberapa rumah yang berdekatan dengan rawa tercium bauh belerang sangat sengit. Bauh ini telah tercium beberapa kali waktu kami berada di dekat sungai. Tak jelas darimana sumber bauh tersebut tetapi kami tak ada waktu untuk mencarikannya. Tanah di atas dataran rumput sangat basah, tetapi untung sekali tak berlumpur. Bekas kerangka perkemahan kami di Bogesiga masih utuh, tetapi tanah yang basah disekitarnya kelihatan sangat menyedihkan. Setelah terpal perkemahan telah terpasang kami semua beristirahat. Peserta orang Atinjo yang rupanya terasa kedinginan berupaya membuat perapian. Suasana malam ini agak tertekan, tetapi setelah rasa dingin telah lenyap suasana di perkemahan berubah menjadi lebih nyaman dan tertib.

Tanggal 23 Oktober.
Hari ini lebih cerah daripada hari kemarin. Agar pengukuran di atas Digatara dapat terlaksana dengan mulus, diperlukan perbekalan untuk 10 hari. Karena itu sebaiknya saya dengan ke 13 orang Atinjo dan 2 petugas polisi berangkat duluan ke perkemahan Araboe, sedangan Sdr. Hoeka dengan 2 petugas polisi, pembantu dan ke tiga orang terpidana tinggal di perkemahan. Pemandu Mauwekigi akan menunjuk kami jalan pintas lewat pegunungan. Hingga Kigoditali, di daerah di sebelah atas Oewoderedide, kami menikuti jalan yang sama seperti rute jalan kemari. Daripada melintasi daerah rawa, si Mauwekigi kini mengambil arah jalan ke kanan. Suatu jalur bagus sepanjang pinggir sungai Koleboe akan membawa kami ke kaki pegunungan. Tanpa beristirahat kami melanjutkan perjalanan menanjak lereng gunung. Kami beristirahat sebentar untuk makan di suatu tempat sebelum naik ke puncak yang terletak sebelah kanan Kolemoele. Kondisi jalur seberang sungai bagus sekali karena datar dan terletak di atas punggung-punggung sempit. Pegunungan Aradide mulai tampak melalui hutan, tetapi jalan masih jauh untuk mencapai daerah ladang di bagian utara lembah Waparaba.
Kami kemudian mengikuti jalan sepanjang pinggirnya sebelah barat dan melalui Wettauwolagi akhirnya kami sampai di Kobeteraida, daerah yang tak asing lagi bagi kami. Jam masih pagi dan kami semakin dekat ke daerah tujuan, sehingga waktu cukup untuk beristirahat dan untuk makan tebuh. Tak lama kemudian langit mulai berawan dan sebelum hujan turun kami telah sampai di perkemahan Araboe. Orang pertama yang menyambut saya adalah seorang bocah kecil asal Moni bernama Torteroega, (Bahasa Maluku untuk penyu laut. Asal kata sebenarnya dari bahasa Spanyol). Bocah ini menyampaikan bahwa Bapak ‘Tuan” (Le Roux) dan Bapak Sitapa (Sitanala) telah berangkat ke Enarotali. Semua rasa kecemasan dan keresahaan yang selama ini berada di fikiran saya lenyap dengan kehadiran Boschma yang tiba-tiba keluar dari kemahnya dengan berita bahwa tugas patroli Timur berhasil menyelesaolam tugasnnya gemilang. Para tenaga kuli yang sebelumnya tak sempat terangkut dengan kapal orambaai harus diberangkatkan dengan kapal besar. Waktu berita ini terdengar orang Atinjo di dalam regu kami maka mereka mulai khawatir semua orang Atinjo disuruh pulang ke Pos , sehingga saya berkewalahan menjelaskan kepada mereka bukan demikian halnya. Perjalanan menyeberangi Tarahoegiwi masih segar di dalam ingatan mereka dan mereka telah sangat lelah.. Salah satu petugas polisi dalam regu saya, terpaksa saya harus lepaskan untuk ditugaskan ke kapal besar. Udara malam ini dingin sekali: angin dingin menyengat dibarengi hujan angin. Boschma dan anak buahnya sedang sibuk semalam suntuk melakukan persiapan.

Tanggal 24 Oktober. Hari istirahat di perkemahan Araboe. Udara pagi hari bagus sekali tetapi menjelang jam 12 siang hujan mulai turun lagi.

Tanggal 25 Oktober. Jam 7 pagi kami berangkat dari perkemahan Araboe disertai 2 petugas polisi baru dan 13 tenaga pemikul Atinjo. Ada satu dari kelompok Atinjo ini yang sejak 2 minggu berturut-turut menderita sakit gigi dan berlagak seakan-akan akan mati, diganti dengan yang lain. Karena orang-orang Atinjo hanya disuruh memikul satu kaleng beras atau kacang, maka beban pikulan mereka kini menjadi ringan sehingga laju jalan dapat dipercepat. Lagipula lereng Kolemoele menanjak berangsur-angsur. Tanah dataran kini lebih kering daripada di awal bulan ini. Langit tetap terang dan pada jam 3 sore lewat 10 menit kami telah sampai di Bogesiga. Mereka yang dulu tertinggal telah memindahkan posisi perkemahan ke tempat lain. Tempat yang lama kini ditempati rak-rak terisih daging. Kepala koki, Wissel, yang ditemui di antara rak-rak tampak sibuk membuat dendeng. Sementara itu kecurigaan penduduk Bogisega kepada kami telah lenyap dan mereka kini malah menjadi ramah sekali. Kami dibekali mereka dengan buah pisang dan ditawarkan babi dengan harga murah. Karena keadaan disini menyenangkan bagi semua fihak maka kami terasa aman menitipkan 4 kaleng beras dan 1 kaleng berisi kacang dengan si penjual babi tadi yang menawarkan jasanya sebagai petunjuk jalan ke Digatara hari esok. Namun demikian mereka hingga kini masih merasa segan menyampaikan kepada kami nama-nama.





Tanggal 26 Oktober.
Si pemandu mengantar kami melalui lembah ke suatu kampong. Dia mengembalikan kigi besar yang telah kami berikannya sambil berkata dia tidak bisa meneruskan perjalanan. Alasan dibelakang tindakannya tersebut terungkap tak lama lagi setelah seorang pemandu baru mengantar kami ke jurusan daerah bagian hulu sungai yang sejajar dengan pegunungan dan bukan ke pegunungannya. Karena dia mengatakan daerah sepanjang jalan ke Digatara tidak berpenghuni, kami menjadi curiga sehingga menarik kesimpulan dia mau menipu karena pasti ada sebuah jalan pintas yang melewati perumahan dan ladang. Pemandu sebelumnya rupanya tidak setuju dengan rencana penipuan tersebut. Sambil bergerutu kami serombongan terpaksa kembali berputar arah ke kampong sebelumnya dimana kami memasuki jalur kecil yang menuju jurusan yang benar. Disini kami bertemu lagi dengan pemandu pertama yang akhirnya bergabung kembali dengan kami. Tidak lama kemudian kami sampai di sebuah kampong lumayan besar yang dibangun mengelilingi lapangan kecil. Si pemandu mengantar kami melewati ladang masuk kedalam hutan kemudian ke sebuah sungai kecil dimana dia akan berpamit. Dia berkata bahwa kami sudah mendekati tujuan. Sekali lagi dia menolak diberikan upah. Ternyata dia benar: di depan kami sudah terlihat jalur hutan yang menanjak yang menuju ke daerah lebih tinggi. Jalan in adalah yang termudah ke Kemandora. Waktu sedang beristirahat sejenak di suatu tempat sebelum mencapai puncak tiba-tiba terdengar suara-suara orang Ekari yang semakin mendekat. Karena saya kira perhatian mereka tertarik oleh suara-suara orang Atinjo, saya memanggil mereka. Tetapi saya mendapat reaksi yang tak diharapkan, karena orang Ekari yang berdiri terdepan karena terkejut tiba-tiba loncat ke dalam semak-semak di pinggir jalur. Saya tidak tahu apakah dia terus berada disitu atau membalik arah, sehingga saya menyuruh Wissel memanggilnya dalam bahasa Ekaris. Kemudian kami meneruskan perjalanan berpelahan-pelahan dan penuh waspada. Selama sisa perjalanan tak terjadi hal-hal yang aneh. Tetapi di atas tanah jalur kami terlihat beberapa tanda bekas telapak kaki orang yang membuat kami berkesimpulan ada manusia berjalan jauh di depan kami. Tak lama kemudian kami sampai pada kawasan pepohonan setingkat daerah puncak. Pemeriksaan sejenak menunjukkan terdapat jalur dari sini yang turun ke bawah. Perkemahan dipasang di tempat ini. Jam menunjukkan jam 12 siang. Udara sehari penuh tetap cerah. Pada malam hari kami terus dikerubuti nyamuk.

Tanggal 27 Oktober.
Sdr Hoeka telah berangkat dengan regu tebang pohon ke arah timur. Seperempat jam kemudian mulai terdengar suara-suara orang Atinjo disertai bunyi pohon-pohon tumbang: ini berarti puncak Digatara yang sesungguhnya belum tercapai. Tetapi tidak lama kemudian melalui pepohonan telah mulai terpapar pandangan bagus: puncak sesungguhnya yang terletak lebih tinggi yang kami duga terletak di seberang jurang yang curam. Waktu Hoeka kembali ke perkemahan sore hari itu dia beritahukan bahwa dia telah menemukan jalan ke puncak Digatara.

Tanggal 28 Oktober.
Setengah bagian dari perkemahan dipindahkan ke daerah lokasi puncak. Menyusul fajar menyingsing suhu turun secara drastis dan selama matahari tak muncul di atas pepohonan, hawa di perkemahan terasa sangat dingin.

Tanggal 29 Oktober. Udara pagi hari dingin sekali. Sekali lagi kami dengar suara orang Ekaris tetapi hanya seekor anjing yang memasuki perkemahan berulangkali, bukan manusia. Tidak jauh dari daerah perkemahan terdapat rumah tinggal tanpa ladang disekitarnya: apa mungkin tempat itu adalah pasanggrahan? Sore hari regu tebang tiba kembali ke perkemahan dengan membawa berita gembira, yaitu pekerjaan mereka telah selesai. Besok kami akan mengisi waktu dengan membuat koba kobas (semacam payung hujan terbuat dari daun pandan).

Tanggal 30 Oktober.
Saya ikut menyertai beberapa orang naik ke daerah puncak untuk mengantar perbekalan. Udara kurang bagus tetapi saya bertekad ikut untuk menyaksikan keadaan sebelum semua pekerjaan berakhir. Pemandangan dari atas puncak ke arah selatan meskipun tak terlalu cerah semakin terang meskipun pada bagian utara langit masih berawan. Sungai Kemaboe kelihatan jauh di bawah tempat kami berada dengan pinggirannya tertutup lapisan batu kerikil yang tampak dengan jelas. Di sebelah utara arus sungai Digatara jatuh lurus kebawah 90 derajat dari ketinggian 100 meter ke sebuah lembah berbentuk bundar dan padat tumbuhan yang terletak sepanjang arusnya. Bagian ini dari daerah Kemandora terkesan tak ditinggali manusia, begitu pula daerah di seberangnya, yaitu daerah penduduk Wolani, dimana tertampak hanya seberapa ladang saja. Walaupun perkemahan di atas terletak di udara terbuka regu kerja tak pernah berkeluhan terasa kedinginan. Saya melihat banyak pohon ditebang tetapi yang penting bahwa terdapat banyak pohon baru juga dalam proses pertumbuhan dan berbunga. Sewaktu-waktu pemandangan ke Oewagimama dan Piabeutara mulai kelihatan lagi tetapi tak lama kemudian tertutup kembali oleh awan yang memasuki lembah Kemandora dari arah barat, membentur dinding sungai Digatara dan cepat lenyap melewati puncak gunung.

Tanggal 31 Oktober. Malam hari yang panas disusul hujan di pagi hari. Ada berita bahwa pemandangan di atas lebih buruk daripada hari sebelumnya, sehingga kemungkinan adalah tipis sekali untuk melakukan pengukuran. Semua persediaan dan perbelakalan yang tertinggal di Bogesiga sebaiknya dipindahkan kemari. Sdr. Hiariej dibantu 1 petugas polisi dan 4 pembantu Atinjo ditugaskan kesana untuk membawanya kemari. Saat keberangkatannya ada dua pemuda Ekari berdatangan dari kawasan sebelah selatan. Pada awal kami menduga mereka mau mengantar surat tetapi bukan demikian halnya. Mereka membawakan kami makanan ubi-ubian. Dari gerakan tangan mereka terkesan mereka sangat terpesona dengan perkemahan kami. Tidak lama kemudian mereka meneruskan perjalanan ke arah utara. Pada jam 3 siang Hiariej telah kembali dengan membawa kaleng-kaleng. Bukan main cepatnya mereka kembali: 5 jam bolak balik, karena kondisi tanah rawa telah kering mereka dapat berjalan dengan lebih cepat. Menunggu di kawasan perkemahan sangat melelahkan karena tak ada pemandangan sama sekali. Para orang Atinjo sibuk membuat koba-koba, sementara si Wissel dan para petugas polisi membuat perapian besar yang nyaris membuat habis terbakar seluruh dapur. Hari tanggal 1 Nopember kami luangkan waktu dengan menunggu saja.

Tanggal 2 Nopember.
Udara cerah dan langit berwarna biru. Kalau pada hari ini kegiatan pengukuran tak akan berhasil pula, entah apa lagi yang kami harus berbuat. Tetapi pada jam setengah sembilan Si Hoeka tiba-tiba muncul. Semua pekerjaan telah selesai. Jam 10 perjalanan pulang dimulai dan tak lama kemudian kami telah sampai di Bogesiga. Di dalam hutan pada perjalanan ke bagian daerah aliran sungai, Wissel menutur ada orang berkenakan sepatu yang berjalan jauh di depan kami. Memang bekas jejak sepatunya jelas terlihat. Kalau ini bukan jejak sepatu kami sendiri, kemungkinan besar jejak tersebut adalah kepunyaan Tuan Van Krieken. Pada jam setengah dua titik tertinggi punggung pemisah daerah aliran sungai akhirnya tercapai. Perkemahan lantas didirikan berdekatan dengannya di atas lahan rumput dekat sungai kecil yang terletak di bawah kampong Koparotali. Seorang bocah menghampiri kami dengan buah frambozen, suatu hal yang aneh karena mereka tidak biasa makan buah tersebut: Dugaan saya permainan sulapan dengan buah frambosia yang pernah kami lakukan sewaktu di Araboe telah sampai disini juga. Ada satu keanehan lagi yaitu saya dipuji oleh seorang Ekari karena tak pernah terkena ulah tipuannya.

Tanggal 3 Nopember.
Kami pulang ke Araboe melalui jalur hutan. Perlu dicatat bahwa dataran kini jauh lebih kering dan air di Koleboe jauh berkurang.daripada sebelumnya. Hoeka masih sempat melakukan sejumlah pengukuran di Wettauwolago. Setibanya di Araboe ternyata memang benar Van Krieken berjalan di depan kami dan telah meneruskan perjalanan langsung ke Enarotali.

Tanggal 4 Nopember.
Dengan menumpangi kapal orambaai kami berlayar ke sungai bagian hilir dan kemudian menyeberangi danau menuju ke Pos Enarotali. Sementara itu para kuli Atinjo menunggu kapal angkutan berikutnya. Pada pertengahan pelayaran di atas sungai Ara kami menjumpai Van Krieken. Berdasarkan suratku yang telah dia terima, beliau menghubungi pos tersebut untuk melakukan beberapa pembicaraan dan mengadakan kontak dengan Ambon setelah berbulan-bulan tak ada hubungan sama sekali. Beliau kini sedang pada perjalanan pulang ke Oewagimama. Sepuluh menit kemudian kami melanjutkan perjalanan dan pada jam setengah tiga telah sampai ke Anarotali. Dengan demikian patroli perjalanan kami ke bagian Utara dapat dianggap telah selesai.
Di antara hasil prestasi yang tercapai selama perjalanan kami, dapat disebutkan antara lain: keberhasilan kami melakukan penerobosan ke wilayah yang sebagiannya berpenghuni padat dan sebagian lagi yang kurang padat berpenghunu, tetapi dimanapun kami berada kami selalu berhasil menjalinkan hubungan damai dengan semua penduduk setempat.
Menyangkut pekerjaan di bidang ilmu topografi, dapat kami laporkan disini bahwa semua upaya yang kami lakukan telah berjalan sesuai rencana. Hampir di seluruh wilayah kunjungan kami pengukuran silang berhasil dilakukan.
Disamping itu jumlah bahan-bahan penelitian di bidang ilmu botani yang berhasil saya kumpulkan jauh diluar dugaan saya semula. Tetapi besar nilai sesungguhnya baru dapat terungkap dan terukur setelah eksperimen ilmiah terhadapnya telah tuntas dilakukan.

PENJELAJAHAN NIEUW GUINEA
(Dengan Lampiran Peta No. XI)

Penjelajahan Militer

Nieuw Guinea Bagian Utara.
Pada bulan Januari dan Pebruari 1913 detasemen-penjelajahan di bawah pimpinan Kapten Ten Klooster melakukan kegiatan penjelajahan wilayah pantai utara Nieuw Guinea sebelah barat sungai Tor ( lihat peta di hal. 83 tahun edisi 1912).
Dari hasil kegiatan penjelajahan tersebut ternyata bahwa di seluruh wilayah pantai utara tersebut tak terdapat sungai yang bermuara di sana dengan arus air demikian besar sehingga dapat disangka bagian hulu sungainya adalah sungai Keerom. Dari kenyataan ini dapat diambil konklusi bahwa sungai tersebut yang bermuara di pantai utara bukan sungai yang berdiri sendiri.
Sungai –sungai utama yang bermuara di sebelah barat tanjung Sarmi – lihat peta No. 1 edisi tahun 1912- ddengan urutan dari timur ke barat adalah: sungai-sungai Wainatoem, Verkam, Berdowi, Aroeswar (Arsoewar?), Waimoewar, Apauwar dan Matabori. Yang bermuara di sebelah timur dekat tanjung Sarmi adalah sungai Ore dan Wiske (Waske atau Nowki).
Sungai-sungai Tor dan Apanwar berfungsi sebagai penyaluran bagi daerah pegunungan Gauthier, sedangkan sungai-sungai yang lain bersumber di dataran tinggi di bagian utara pegunungan tersebut. Di daerah pesisir jaringan sungai-sungai tersebut pada musim kemarau tak ada banyak manfaatnya karena kurang terpakai sebagai alat lalu lintas. Dengan demikian di daerah pedalaman kapal perahu jangankan jarang terdapat, malah tidak pernah kelihatan. Dimana tak terdapat sungai yang dapat diarungi, penduduk setempat menggunakan getek atau gedebok pisang sebagai alat penyeberang. Sungai Tor dan sungai Apauwar biasanya dimanfaatkan oleh pemburu burung pada musim berburu (bulan April- Oktober). Sungai Apauwar merupakan jalan teroboson terutama ke daerah pegunungan Gauthier yang dapat dihampiri dari samping dengan menggunakan perahu Dayak dan cara berjalan kaki selama waktu dua hari.
Panjangnya beting di depan muarsungai Mamberamo terbentang hingga muara sungai Matabori. Menurut informsi yang diperoleh dari pemburu burung, sungai Matabori adalah hasil pertemuan berbagai aliran sungai rawa dan khusus pada waktu air pasang terbentuk oleh sebuah kali kecil, bernama Air Soeboe yang berhubungan dengan Mamberamo. Melalui kali kecil ini penduduk Papua melayarkan perahu-perahunya yang kecil. Para penduduk sekitar sungai Apauwar mengatakan kepada penjelajah bahwa mereka tidak mengenal sungai Matabori, tetapi mereka kenal anak sungai Mamberamo, yaitu sungai Siamera, dimana tinggal suatu suku dengan siapa mereka sedang bermusuhan.
Berikut adalah salah satu tulisan Kapten Ten Klooster dalam buku laporannya:
Sepanjang seluruh pesisir mulai dari Tor hingga Matabori di tepi laut terbentang suatu wilayah luas berpasir yang terpotong hanya oleh daerah perbukitan Maffin yang melintas ke laut dan suatu peningkatan tanah dekat tanjung Sarmi, sedangkan presis dibelakang kompleks Sawar-Bagej Serwar terdapat bebatuan karang dengan ketinggian 30-40 meter yang menjulang lurus ke atas dan di atas mana penduduk setempat mengurus ladangnya. Di belakang wilayah pasir tersebut terdapat suatu dataran rendah lebar yang memerlukan 1-1 ½ hari berjalan kaki untuk menjangkauinya, sedangkan bagian selatannya adalah datar bergelombang dengan bukit-bukit berlereng terjal dengan daerah rawa di bagian rendahnya. Dari lembah Tor maupun lembah Apauwar pegunungan Gauthier langsung menjulang ke atas sampai ketinggian 1000 M atau lebih tanpa daerah pebukitan sedikitpun berada di depannya.
Dari daerah pantai banyak jalur pejalan kaki menjurus ke arah selatan ke masuk ke pedalaman.
Sepanjang kawasan pantai sampai di sungai Verkam terdapat banyak pohon kelapa, sedangkan di bagian sebelah barat sebagian besar vegetasi terdiri dari pohon kasuarina dan semak-semak padat. Di atas tanah rawa yang langsung berbatasan dengan daerah ini terdapat tumbuhan seperti pohon nipah, rotan, pandanus, sedangkan rawa-rawa sago dimulai di sebelah selatan yang disusul dengan daerah hutan yang terbentang ke seluruh jurusan. Di kawasan bagian hulu sungai Apauwar ditemukan kelompok-kelompok kecil pohon cemara, sementara di bagian pemisah daerah aliran sungai Aoauwar dengan sungai Verkam banyak terdapat pohon Damar.
Satu-satu jenis buah-buahan yang tumbuh di hutan dan layak dimakan adalah buah ‘matowa’, yaitu semacam buah sebesar buah biji dengan kulit licin berwarna kuning atau merah kecokelatan; biji buahnya berwarna kuning sangat mirip biji rambutan, hanya kurang berair dan kurang manis seperti buah rambutan. Buah matowa tumbuh bersetandan terhadap pohon-pohon tinggi dan teduh dan dimakan orang Papua bersamaan dengan sago.
Penduduk setempat sejak bertahun-tahun silam telah menjalin hubungan dengan pemburu-pemburu burung dari Ternate dan Tidore dan bertempat tinggal di desa atau kampong yang layak. Mereka hidup dari bercocok tanam dan berladang dan dianggap makmur. Di daerah ini tidak terdapat bekas tanda kanibalisme.
Burung mahkota masih jarang ditemukan disini.

Nieuw Guinea Bagian Barat
Dari tanggal 24 September sampai dengan 15 Desember 1912 diselenggarakan kegiatan penjelajahan di daerah bagian selatan kawasan yang diberi julukan “Vogelkop (Kepala Burung)”, terutama bagian-bagian daerah aliran sungai Kamoendan dan daerah aliran sungai Wiriagar yang bermuara di sisi utara teluk Maccluer.
Sungai Kamoendan adalah salah satu sungai terbesar di kawasan Vogelkop; bagian hulu sungai Kamoendan disebut Aifat. Dapat dinyatakan dengan pasti bahwa sungai Waisami adalah sumber air utama bagian hulu sungai Kamoendan. Oleh karena itu panjangnya seluruh alirannya adalah 20 mil geografis. Hampir dimana-mana lebarnya sungai kurang lebih sama, yaitu 80 meter ( menurut hasil ukuran pada waktu pasang naik). Sungai ini layak dilalui kapal perahu besar sampai di Mongge
( kurang lebih 55 km lebar langit di atas muara), dan untuk kapal perahu kecil sampai di desa Samariak ( kurang lebih 20 km lebih tinggi). Di desa ini peningkatan kecepatan arus air mulai dirasakan, dan pengendapan lumpur di dasar sungai semakin berkurang dan akhirnya diganti batu kerikil. Pada ketinggian air normal kecepatan arus sungai bisa mencapai kurang lebih 2 mil di bagian hilirnya.
Sungai Kamoendan mempunyai banyak anak sungainya; yang paling utama adalah sungai Oesim di tepi kirinya (bagian timur), dan sungai Womba dan sungai Arako di tepi kanan. Bagian hulu Kamoendan sebelum menyatu dengan Womba dinamakan Aifat.
Sungai Wiriagar yang bagian hulunya disebut Aimau kurang terkenal dibanding dengan Kamoendan. Sungai Wiriagar mengalir di kawasan timur. Alurnya hampir sejajar dengan Kamoendan, lebarnya pun hampir sama, hanya kedalamannya berlainan sekali. Hanya di bagian hilir kedalaman bisa mencapai 8-10 meter pada bagian terlebar yaitu 75 meter. Satu-satunya anak sungai (tepi sebelah kiri) yang terbesar adalah sungai Wainoeni, yang menjdi tempat penyaluran air dari danau Makiri dan Tanemot.
Menurut berita yang dimuat surat kabar Soer. Hbl, maka detasemen eksplorasi pada awal bulan Juli diperkirakan akan melakukan perjalanan penjelajahan selama 1 ½ bulan yang dimulai dari Asbakin ( di pantai baratlaut, dekat T. Asi) melalui arah timur ke Wai Papero (sebelah barat T. Manganeki), kurang lebih sejajar dengan pesisir. Dengan selesainya penjelajahan tersebut maka akan berakhirnya seluruh eksplorasi militer di bagian “Vogelkop”.

Nieuw Guinea Bagian Selatan.
Sejak ikhtisar sebelumnya kami masih berhasil mendapatkan suatu peta lagi yang berskala 1:250.000 yang ditandatangani Letnan Laut J.L. Chaillet yang dibuat berdasarkan hasil penjelajahan detasemen eksplorasi di daerah aliran sungai antara sungai Noordwest dan Otakwa. Berdasarkan peta tersebut kami membuat suatu peta lampiran, yaitu No. XI berskala 1:400.000. Peta terakhir ini tidak menyebutkan nama-nama dari wali-wali kota dan dari para peneliti yang namanya akhirnya tersandung kepada puncak-puncak gunung daerah pegunungan Nassau dan pegununungan yang terletak di depannya atau dikenal juga dengan nama pegunungan Eksplorateur. Hanya lokasi dan hasil ukuran ketinggian puncak-puncak pegunungan kami catat pada peta kami. Disamping itu kami juga menambahi beberapa masukan mengenai hasil perjalanan Dr.Wollaston ke pegunungan Carstensz dan sungai Lorentz, yang terakhir ini berdasarkan peta ekspedisi Lorentz yang kedua. Kami juga menandai pada peta beberapa lokasi perkemahan dari perjalanan ekspedisi ke pegunungan Oranye.
Peta hasil ciptaan kami bukan sempurna – karena keadaan kawasan tak digambarkan secara nyata; soalnya puncak-puncak gunung dalam peta tak dilengkapi gambar-gambar indah dari daerah pegunungan sekitarnya- semua yang terliput didasarkan pengetahuan seadanya saja.
Karena alasan-alasan tersebut maka pencerminan daerah pegunungan tengah dengan deretan pegunungan di depannya tak berhasil ditampilkan sesuai kenyataan.
Yang juga tak berhasil dimasukkan ke peta yaitu vegetasi – ini juga tak tampil pada peta-peta dasar sebelumnya, sehingga terkesan tak terdapat vegetasi berupa hutan dan semak-semak padat di daerah-daerah di antara sungai-sungai maupun di kawasan-kawasan lebih tinggi yang dalam kenyataan memang demikian halnya.
Namun demikian, Peta XI dengan jelas menampilkan daerah perairan luas di sebagian dari Nieuw Guinea bagian Selatan, beserta aliran-aliran serta mata air serta sumber-sumber sungai-sungai di daerah ybs., yang sebenarnya merupakan tujuan utama pembuatan peta itu.
Pada peta hasil ciptaan Chaillet terdapat sebuah lampiran berisi penjelasan berkaitan dengan peta kami yang dibuat oleh Kapten Weyeman, Komandan Detasemen sebagai berikut.
Semua kawasan yang berhasil dipetakan merupakan tanah rawa yang luas yang meliputi daerah pesisir sampai di kaki daerah perbukitan. Hanya sebagian kawasan yaitu di dekat perbukitan terletak sedikit di atas garis permukaan air pasang dan ini terbatas saja pada daerah sekitar aliran sungai.
Daerah melampaui perbukitan adalah datar yang akan naik menjadi lebih tinggi sekitar daerah aliran sungai. Di luar kawasan ini tanah rawa muncul lagi dengan daerah pegunungan di belakangnya.
Daerah perbukitan maupun pegunungan karena lereng-lerengnya yang terjal disamping proses penyusunan bebatuan, pada umumnya sulit sekali dilalui.

SUNGAI

Banyaknya sungai di wilayah ini tak terhitung jumlahnya. Di dataran sampai ke kaki perbukitan sungai merupakan satu-satu sarana transportasi. Tetapi di bagian sebelah utara perbukitan manfaat sungai tersebut semakin berkurang karena sering terdapat pohon-pohon yang tertumbang melintasi badan sungai, atau terjadinya percepatan arus air dan penumpukan batu kerikil atau beting bebatuan/karang, disamping fenomena banjir disebabkan oleh sungai bersama anak-anaknya.
Seperti telah diketahui di daerah pegunungan suatu banjir kecil tak berarti dalam sekejap mata dapat berubah menjadi kekuatan luar biasa yang tak dapat terbendung. Seringkali terjadi seorang komandan patroli tertangkap banjir dan tak sanggup mencari jalannya kembali ke perkemahan sehingga terpaksa menunggu cukup lama tanpa bekal apapun sampai keadaan reda.
Berhubung di wilayah ini perbedaan antara musim hujan dan kemarau tipis sekali, - hujan bisa turun sepanjang tahun-, fungsi sungai sebagai sarana transportasi selama kedua musim hampir sama besar. Tetapi bila permukaan air sedang rendah akibat musim kemarau, maka arus di bagian hulu sungai menjadi kurang layak untuk dilalui kapal.
Suatu fenomena aneh dari sistem perairan sungai disini adalah pembentukan pulau-pulau kecil sebagai akibat hubungan antar sungai melalui ‘antasan-antasan”.
Hubungan antar sungai tersebut sangat berguna selama berlangsungnya kegiatan eksplorasi, karena sekali hubungan telah terjalin kegiatan eksplorasi dapat berlangsung terus tanpa ketergantungan pada kapal pelayaran tradisional detasemen yang hanya dapat berlayar di atas laut.
Suatu hubungan antar sungai di daratan seperti dimaksud di atas dimanfaatkan kapal uap seperti Kapal “Kitty” (kedalaman 1 depa, panjang 25 M) pada trayek antara Eilandenrivier dan Otakwa (jarak kurang lebih 500 km); terdapat kemungkinan besar hubungan tersebut dilanjutkan dari Otakwa ke arah barat.

JALANAN

Sarana jalanan di atas daratan sama sekali tak ada. Jalur alamiah pun jarang terdapat. Biasanya jalur jenis ini digunakan untuk berburu dan hanya dijumpai di wilayah dataran sepanjang tepi sungai atau menuju masuk ke hutan belukar. Dalam hal terakhir ini jalur-jalur tersebut sering berjalan buntu. Dalam daerah pegunungan jalur-jalur biasanya mengikuti arah punggung-punggung dengan jalur-jalur lintasan menuju ke sungai kecil. Manfaat jalur-jalur semacam itu sebagai sarana penghubung sangat kecil nilainya karena kurang panjang.

KAMPONG

Banyaknya kampong di daerah ini sedikit sekali jumlahnya. Di wilayah dataran semua kampong-kampong terletak di tepi sungai; tempat tinggal penduduk dibangun berderetan satu disebelah yang lain sepanjang tepi sungai dengan depannya menghadapi sungai. Hanya tanah mengelilingi tempat tinggal adalah rata.
Menurut kebiasaan kampong selalu dibangun di tempat pertemuan suatu sungai dengan salah satu anaknya. Dalam hal ini rumah juga dibangun pada tepi anak sungai ybs.
Rumah tinggal penduduk berbentuk pondok-pondok atau gubuk-gubuk yang berada di tepi sungai biasanya dibangun di atas tiang; hanya di daaerah bagian hulu tempat-tempat tinggal dibangun dengan dindingnya bersentuhan dengan tanah.
Semua rumah tinggal suku-suku yang saya kenal didirikan atas tiang. Sebagai bahan penutup bagian atasnya digunakan daun pohon palem atau daun atap; kulit pohon biasanya digunakan untuk bahan dinding.

VEGETASI

Jenis vegetasi di wilayah ini berlimpah-limpah sedemikan rupa sehingga wilayah kurang bervegetasi (yang sangat jarang) bagaikan sesuatu pengalihan yang sangat mendahsyatkan.
Wilayah kehutanan termasuk vegetasinya meliputi luas masing-masing sebagai berikut:
Mulai dari batas laut memasuki ke pedalaman sejauh 75 Km vegetasi terdiri atas: hutan rawa yang meliputi jenis rizophora dan nipah. 40 km lebih jauh ke dalam terdapat pepohonan rendah dengan vegetasi bawah tanah (nipah, pandan, pakis, sago), tetapi 15 km sepanjang tepi sungai terdapat pohon-pohon besar dengan jaringan tanaman merembet (kloewe, pisang liar, palem rotan; jenis pepohonan lain yang belum terkenal bagi saya).
Dari wilayah perbukitan terus ke wilayah luas lebar yang terletak sepanjang sungai-sungai hingga pada kaki pegunungan: kayu bermutu tinggi dan keras, kayu bakar; bambu).
Kawasan yang berbatasan dengan wilayah luas lebar tersebut adalah tanah rawa dengan vegetasi hutan rawa.
Di wilayah pegunungan: dari sudut ukuran dan mutu, mutu kayu pohon turun semakin tinggi kawasannya (pandan, pinang liar, cemara, bambu; jenis-jenis yang lain kurang saya kenal), pada ketinggian 800 M malah banyak pepohonan telah gundul dengan ukuran dibawah ketinggian 3 m, dan juga pohon semak-semak).
Pada umumnya vegetasi wilayah ini mempunyai dampak negatif terhadap jalan-jalan di wilayah bersangkutan: “kawasan perbukitan…. Kaki pegunungan” merupakan satu-satu pengecualian yang berguna asal Anda jangan terlampau jauh dari sungai-sungai.
Dalam hal Anda terpaksa harus menebangi pohon atau semak-semak untuk melintasi wilayah yang Anda ingin menerobosi maka jarak yang Anda sanggup tempuh dengan cara tersebut tidak jauh, rata-rata 6 km, sedangkan di wilayah pegunungan jarak ini akan lebih berkurang lagi.

PENDUDUK

Jumlah penduduk di wilayah ini diperkirakan tak lebih dari 4.800 jiwa, suatu angka menyedihkan bagi suatu daerah dengan luas kurang lebih 18.000 KM2. Angka tersebut dapat diperincikan sebagai berikut: Di wilayah sebelah utara sungai Noord-west penduduk dibagi antara 3 kampong dengan jumlah penghuni masing-masing 500, 300 dan 600; di wilayah sekitar sungai P.leCocq d’Armandville terdapat 3 kampong dengan jumlah penduduk masing-masing 600,200 dan 50. Di tepi sungai Vetbuik terdapat satu kampong berpenghuni 600 jiwa.; Di daerah Bloemen-rivier terdapat 4 kampong masing masing berpenghuni 400, 200, 150 dan 400 jiwa. Mata pencaharian penduduk selain berburu dan menangkap ikan, berladang yang mereka lakukan secara serampangan, disamping memungut hasil hutan.
Yang mereka memburu yaitu apa saja yang bergerak, terbang, menjalar atau merangkak. Yang bagi orang Eropa tak layak dimakan seperti anjing, tikus dan ular, bagi orang suku Kaja merupakan makanan sehari-hari.
Air sungai di wilayah ini berkelimpahan ikan , penyu, kerang, kepiting dan remis; kepiting maupun remis bagi penduduk pedalaman merupakan makanan yang lezat.
Di atas ladang jarang sekali terdapat jenis tanaman lain daripada pisang, tebuh, ubi dan ketimun dan biasanya dengan mutu yang kurang memuaskan.
Di antara hasil hutan yang digunakan penduduk setempat adalah sago, kloewe, ara liar, buah pandan dan buah nipah.
Bahwa kebanyakan orang Kaja di wilayah ini berparas sehat walafiat meskipun makanan mereka sederhana sekali adalah karena kebiasaan mereka hidup di udara terbuka, cara hidupnya teratur dan badan secara fisik sehat sejak lahir, tetapi yang paling penting ialah mata pencaharian mereka tak menuntut ketegangan fisik luar biasa.
Pelaksanaan kekuasaan seseorang secara pribadi tak terdapat di antara penduduk di pedalaman. Walaupun dalam setiap kampong biasanya terdapat satu dua orang yang sangat vokal khusus selama perbincangan atau pembicaraan suatu persoalan, namun ini tidak berarti pendapat mereka langsung mewakili aspirasi seluruh kampong. Untuk menyelesaikan suatu persoalan atau masalah maka seluruh masyarakat berkumpul mencari jalan keluar bersama-sama.

FAUNA

Dari jenis binatang berkaki empat yang hidup di wilayah ini ialah: anjing, baik babi peliharaan maupun liar, koeskoes, tikus besar dan beberapa jenis kangguru.
Jumlah spesies burung di wilayah ini sangat beragam seperti: burung kasuaris, burung tahun, burung cendrawasih, burung kakatua, burung parkit, burung merpati, burung bangau, bebek, burung pegar, ayam hutan.
Spesies binatang melata diwakili oleh buaya ( tak terhitung jumlahnya), kadal dan beragam jenis ular.
Dari keluarga serangga patut disebut kelabang raksasa, semut, tawon, lalat menyengat, merutu, nyamuk, lintah dan laba-laba sebagai penantang utama manusia di daerah rawa maupun daerah pegunungan Nieuw Guinea bagian Selatan.

TUMBUHAN

Dari jenis hasil hutan yang biasa dijumpai di Hindia Belanda tidak semuanya terdapat di wilayah ini. Umpamanya rotan dan damar tidak selalu ditemukan dalam jumlah yang besar. Rotan dari mutu yang lumayan bagus terdapat hampir dimana-mana, tetapi menurut pendapat seorang ahli rotan dari Palembang yang kebetulan menjadi anggota detasemen, mutu rotan disini sangat buruk. Jenis-jenis kayu keras dan kayu bakar dari mutu pertama sering didapati di luar daerah-daerah rawa, kurang lebih 100 km dari pantai. Seluruh kawasan hutan disini tanpa kecuali tidak meninggalkan kesan mendalam seperti halnya hutan-hutan di bagian lain di kepulauan nusantara (seperti Sumatra dan Celebes).
Saya tidak menjumpai pohon kelapa satupun di wilayah ini. Saya yakin pohon ini harus ada di sekitar daerah ini karena waktu berada di sungai Noord-west maupun di sungai Otakwa kami pernah ditawarkan buah kelapa sebagai bahan tukaran.
Pohon sago tidak dijumpai dalam jumlah yang semestinya. Mungkin karena sago tidak merupakan makanan utama orang Kaja-kaja.
Di antara flora yang tumbuh di wilayah ini jenis bunga anggrek yang paling sering ditemui. Yang seringkali dikagumi adalah bunga polong berwarna merah gelap yang terdapat dalam bentuk rangkaian berkepanjangan 1 meter yang bergantungan dari liana-liana sepanjang kawasan tepi sungai. Bloemenrivier (sungai Bunga) mendapatkan namanya dari fenomena tersebut.

MINERAL

Dari berpuluhan mineral yang ada terselubung dalam bumi wilayah ini hanya batu antrasit, dan batu bara yang saya jumpai. Mineral tersebut banyak terdapat di sungai Noord-west maupun Bloemenrivier. Salah satu anak sungai dari Noordwest rivier merupakan sumber utama penemuan batu baru sehingga anak sungai tersebut diberi nama “Steenkool-rivier” (sungai Batu Bara).
Fosil bekas kerang laut dan fosil batu karang telah dijumpai di daerah bagian hulu Bloemen-rivier pada ketinggian 100 M di atas permukaan air.

Antara 26 Januari dan 2 Maret tahun 1913 detasemen menyelenggarakan suatu perjalanan penjelajahan ke daerah aliran sungai Boven Digoel, suatu kawasan di bagian utara yang terbentang sampai perbatasan Nieuw Guinea milik Inggris dan Jerman, dan di bagian barat sampai daerah aliran sungai bagian hulu Eilanden-rivier.
Di bagian pertama tulisan ini (hal. 535) perjalanan penjelajahan tersebut telah pernah dibicarakan berdasarkan cuplikan surat dari PIONIER yang dimuat surat kabar Nieuw Rott. Courant tanggal 18 Mei. Dari buku harian Kapten Weyerman dapat diambil konklusi bahwa sungai Boven Digoel telah berhasil dilalui sampai kurang lebih 130 KM (lebar langit) ke atas dan di sebelah utara dari tempat pertemuannya dengan sungai Oewimerah, terletak perkemahan ‘Zwaluw’. Di atas sebuah bukit dengan ketinggian kurang lebih 120 M sebuah pos observasi/pantauan dibangun yang dapat menghasilkan data yang sangat berguna tentang keadaan di pegunungan berkat udara yang selalu baik. Suatu gambar sketsa dari pemandangan pegunungan tersebut juga berhasil dibuatkan.
Pos observasi tersebut terletak kurang lebih 200 M ke selatan dari tempat pos observasi sebelumnya yang didirikan tahun 1909.
Di sebelah barat puncak Juliana terlihat juga beberapa puncak dari deretan pegunungan Eilanden-rivier yang tertutup salju tebal dan gletser-gletser yang dalam keseluruhannya oleh para penduduk pedalaman disebut Sagoewone. Puncak Juliana sendiri mereka sebut Dablon, sedangkan sungai Boven Digoel dikenal sebagai Oewimboe (bukan Oewimbar, seperti telah dinyatakan pada bagian pertama).
Di hari-hari kemudian sebuah pos observasi kedua digunakan yang berlokasi di tepi anak sungai sebelah kiri pada ketinggian kurang lebih 210 M dekat sebuah kampong yang lumayan besar (5 rumah tinggal dengan 100 penghuni). Dari lokasi tersebut suatu pemandangan yang sangat luas berhasil diperoleh dan melalui pengukuran silang sejumlah besar titik-titik tambahan berhasil ditetapkan. Bahkan suatu pegunungan baru yang terletak di atas wilayah milik Inggris juga berhasil terukur pada arah 95 derajat ke Utara (magnetis).

Pada tanggal 15 Maret Kapten Weyerman ditemani Letnan Laut Chaillet melakukan perjalanan ke Oewamerah, anak-sungai di tepi kiri sungai Digoel dan sungai Inggivahke, anak sungai sebelah timur Oewamerah, dengan tujuan mencapai sungai Alice melalui suatu titik yang telah berhasil ditetapkan secara astronomis sebelumnya di tepi Inggivahke. Meskipun telah diketahui bahwa sungai Alice adalah anak sungai sebelah kanan sungai Fly, tetapi tidak banyak diketahui mengenai arah arusnya; yang juga belum diketahui apakah sungai Alice melintasi wilayah milik Inggris atau Belanda. Pada peta hasil buatan Inggris sungai Alice selalu tergambar di dalam wilayah Inggris, begitupula pada peta Nieuw Guinea hasil ciptaan Dinas Topografi yang berskala 1:1000.0000 yang disesuaikan tahun 1912. Tetapi d’Albertis yang merupakan satu-satu orang Eropa yang berhasil memberlayarkan sungai tersebut (Juli 1876) telah menetapkannya pada arah 141 derajat, yaitu di wilayah milik kami.
Pada tanggal 10 Maret perkemahan didirikan di tepi sungai Inggivahke bagian kiri (140 derajat 50’ 20” garis bujur timur dan 6 derajat 5’ 4” garis lintang selatan) darimana dimulai perjalanan di daratan ke arah timur. Perjalanan ini mula-mula melalui tanah rawa yang dalam sekali akibat permukaan air sungai yang tinggi, kemudian melalui kawasan lebih tinggi dengan tanah bergelombang di atas mana terletak sebuah kampong dengan 6 pondok yang dibangun di atas tiang. Penduduknya pada awalnya terkesan malu dan takut, tetapi tak lama kemudian berubah dan mencari pendekatan bahkan akhirnya bersedia memberi bantuan kepada anggota ekspedisi untuk perjalanan pulang. Tetapi tak lama kemudian tanah kering berubah kembali menjadi tanah rawa luas dengan pedalaman yang bervariasi antara 0.5 dan 2 meter. Perjalanan yang sulit tersebut mengambil waktu kurang lebih 5 jam dan diakhiri pada suatu kawasan bertanah kering. Dari sini perjalanan menuju ke suatu rawa yang setelah dipantau dari atas pohon tinggi ternyata tak mungkin dapat dilewati maupun dilalui karena 30 m dari tepinya permukaannya turun sebanyak 3 meter. Tetapi kendala inipun berhasil diatasi para perintis dan dalam waktu dua hari rawa berhasil dijembatani sepanjang jarak kurang lebih 1000 M. Setelah sampai di seberang rawa detasemen harus mengarungi suatu kawasan rawa lagi untuk mencapai dataran lebih tinggi dengan jalur yang menuju ke suatu kampong besar dengan 7 rumah yang dibangun di atas tiang. Berkat kesabaran dan kebijaksanaan akhirnya hubungan baik berhasil terjalin antara para penjelajah dengan penduduk kampong yang bersedia mengantar mereka ke sungai Alice yang mereka sebut Bidah. Mereka juga mengetahui bahwa ada suatu sungai lebih besar di selatan yang akan bertemu dengan Bidah. Sungai besar tersebut diberi nama Gowa.1)
Lebarnnya sungai Alice, atau Bidah, pada arus kencang terukur 80-90 meter di tempat dimana dia ditemukan pertama kali. Di bagian timur sungai Alice membelok tajam ke timur kemudian ke utara dan ke arah barat.
Karena kesehatannya terganggu Let. Chaillet terpaksa pulang pada saat penjelajahan dimulai sehingga pada saat sungai Alice ditemukan posisinya tak berhasil diukur secara astronomis. Berkat upaya observasi Kapten Weyerman dapat ditentukan dengan pasti bahwa sungai di tempat dimana dia ditemukan mengalir di wilayah milik Inggris. Beliau menulis bahwa bila posisi sungai pernah terukur lebih timur dari yang telah ditentukan pada peta topografis, maka dapat diasumsi bahwa bagian sungai sebelah utara posisi tersebut berada di sebelah timur garis batas 141 derajat.
Dalam bulan Mei suatu bagian lain dari detasemen yang dibawah pimpinan letnan Brogesius melakukan perjalanan ekspedisi di daerah sepanjang sungai Boven Digoel untuk menentukan lokasi mata air sungai tersebut. Setelah hasil penjelajahan terakhir tersebut telah siap dan diserahkan kepada kami, suatu peta lebih lengkap dari Sungai Digoel serta anak-anak sungainya secara keseluruhannya dapat disusun.

Perjalanan Ekspedisi ke Puncak Carstensz

Pemimpin ekspedisi tersebut adalah Dr. Wollaston. Beliau mengabarkan bahwa setibanya di Inggeris dia terjangkit penyakit malaria sehingga sejak lama tak dapat menjalankan tugasnya sebagai peneliti. Tetapi kini kesehatan beliau telah pulih kembali dan pada bulan Nopember y.a.d. akan siap menghadapi anggota “Royal Geographical Society” untuk memberi ceramah mengenai hasil perjalanan ekspedisi yang dipimpinnya.
Beliau berjanji mengirimkan kami salinan dari ceramahnya untuk dianalisa datanya agar yang paling menarik kelak dapat dimuat dalam majalah kami.
Kami juga berhasil memperoleh sejumlah sketsa peta hasil ciptaan Letnan Van De Water tentang perjalanan ekspedisi mulai dari Setekwa hingga dataran salju. Hanya data-data pada sketsa-sketsa tersebut yang dianggap perlu kami masukkan pula ke dalam peta No. XI disamping semua lokasi dari perkemahan yang ada di antara kedua titik tersebut disertai ketinggian posisinya masing-masing.

Tanggal 31 Agustus 1913

Tertanda.
J.J.S.
_________
Beranda

Media Text

Media Text

Profil Text

Seiring dengan berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Tegnologi (IPTEK), belahan dunia lain (terutama Negara-negara Maju) berlomba-lomba meraih Impian yang di dambakan pada setiap Negara. Belahan dunia lain masih terbelakng; hal ini melatarbelakangi dari berbagai faktor; salah satunya adalah terbatasnya layanan IPTEK terhadap masyarakat umum. Melihat segala fenomena dalam kehidupan bangsa dan negara, maka Blogspot "WAIKATO NEWS" hadir untuk mencoba mengemukakan Opini, gagasan, ide melalui tulisan dari berbagai aspek kehidupan.

 

Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Visitor

Flag Counter

Music Papua

Post Populer

 

Templates by Kidox Van Waikato | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger